Oleh Oktiana
Guru dan Aktivis Dakwah
Fenomena fatherless atau ketiadaan figur ayah dalam kehidupan anak kini semakin banyak terjadi di masyarakat modern. Fatherless bukan selalu berarti ayahnya telah tiada, tetapi sering kali karena ayah hadir secara fisik, namun absen secara emosional. Kesibukan kerja, gaya hidup individualistis, hingga perceraian menjadi beberapa penyebab utama kondisi ini.
Berawal dari pernyataan khofifah Indar Parawansa yang pada saat itu beliau menjabat sebagai Menteri Sosial RI. Ia mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara peringkat ke tiga yang anak-anaknya tidak merasakan kehadiran Ayah atau Fatherless Country. (jatimtribunnews.com 17/08/2024)
Padahal, peran ayah sangat penting dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak. Ayah adalah teladan ketegasan, tanggung jawab, dan perlindungan. Ketika peran ini hilang, anak sering tumbuh dengan rasa percaya diri yang rendah, sulit mengontrol emosi, dan kesulitan memahami figur otoritas. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran aktif ayah lebih rentan terhadap masalah sosial dan emosional.
Di zaman serba cepat ini, banyak ayah mengira bahwa menafkahi saja sudah cukup. Padahal, anak tidak hanya butuh uang, tapi juga butuh pelukan, bimbingan, dan perhatian langsung dari ayahnya. Mengajak bicara, bermain bersama, atau sekadar mendengarkan cerita anak sudah menjadi bentuk kasih sayang yang berdampak besar.
Fenomena fatherless seharusnya menjadi peringatan bagi masyarakat dan keluarga untuk menata kembali keseimbangan peran orang tua. Ibu dan ayah bukan sekadar pembagi tugas, tetapi dua sosok yang sama-sama dibutuhkan agar anak tumbuh utuh dengan kasih sayang dan teladan dari keduanya.
Fatherless Buah dari Kapitalisme
Dalam sistem kapitalis, ukuran kesuksesan seseorang sering diukur dari materi dan produktivitas, bukan dari kualitas perannya dalam keluarga. Akibatnya, banyak ayah yang terjebak dalam rutinitas kerja tanpa henti demi memenuhi tuntutan ekonomi, hingga secara perlahan terputus dari kehidupan emosional anak-anaknya.
Kapitalisme menuntut manusia untuk terus bekerja, bersaing, dan mengorbankan waktu bersama keluarga demi uang. Jam kerja panjang, tekanan karier, serta budaya konsumtif membuat ayah lebih banyak hadir di tempat kerja daripada di rumah. Walaupun secara fisik masih menjadi kepala keluarga, secara emosional dan spiritual ia telah hilang.
Lebih jauh lagi, kapitalisme juga mendorong pergeseran nilai keluarga. Peran ayah yang dulu identik dengan pelindung dan pembimbing kini digeser menjadi sekadar penyedia kebutuhan finansial. Sementara itu, ikatan keluarga menjadi rapuh karena setiap anggota keluarga sibuk dengan dunianya sendiri akibat sistem yang menanamkan nilai individualisme dan kesibukan tanpa batas.
Akibatnya, lahirlah generasi fatherless society generasi yang tumbuh tanpa figur ayah yang kuat, kehilangan arah moral, dan mudah terombang-ambing oleh arus budaya global. Fenomena ini seharusnya menjadi peringatan bahwa masalah keluarga tidak bisa dipisahkan dari sistem ekonomi yang mengaturnya. Selama kapitalisme masih menjadikan manusia sekadar alat produksi, peran keluarga terutama ayah akan terus terpinggirkan.
Sistem yang saat ini masih digunakan yaitu Kapitalisme liberal yang menghasilkan generasi cepat dewasa secara seksual dan mental. Saking bebasnya pergaulan bebas makin meraja lela, zina di mana-mana, berujung memiliki anak yang tidak di inginkan. Inilah dampak kapitalisme menyebabkan terjadinya fenomena fatherless. Bukan hanya anak yang menjadi korban, hakikatnya semuanya adalah korban sistem.
Peran Ayah dalam Perspektif Islam
Dalam pandangan Islam, ayah memiliki kedudukan yang sangat mulia dan tanggung jawab yang besar dalam keluarga. Seorang ayah bukan hanya sadar pencari nafkah, tetapi juga pemimpin, pelindung, dan pendidik bagi istri dan anak-anaknya.
Allah SWT berfirman dalam Q. S An-nisa ayat 34 yang artinya :
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan."
Ayah disebut sebagai qawwam, yaitu orang yang memimpin dan bertanggung jawab terhadap keluarganya. Kepemimpinan seorang ayah bukan berarti kekuasaan tanpa batas, melainkan tanggung jawab besar untuk membimbing, melindungi, dan menuntun keluarga menuju rida Allah.
Islam memandang bahwa pendidikan karakter tidak cukup hanya dari Ibu, karena Ayah dan Ibu memiliki peran yang saling melengkapi. Ayah menjadi sumber ketegasan, tanggung jawab dan keberanian, sementara Ibu, menanamkan kelembutan, kasih sayang dan ketulusan.
Sebagaimana yang kita ketahui Rasulullah shallallahu alaihi wassalam sangat menyayangi keluarganya.
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku adalah orang yang paling baik bagi keluargaku." (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Islam mewajibkan kehadiran fisik dan juga emosional ayah terhadap anaknya. Sebab ini akan membantu perkembangan anak dalam kehidupan sehari-hari. Tidak lupa peran negarapun sangat penting dimana negara memberikan kebijakan dan memudahkan agar ayah dapat memaksimalkan perannya. Seperti menyediakan lapangan pekerjaan, pemberian cuti untuk ayah ditempat kerja, mudahnya akses pendidikan, keamanan, kesehatan, terjangkaunya kebutuhan pokok dan negara wajib memberikan pendidikan kepada generasi dengan membangun sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut, peran ayah akan hadir dan tetap membersamai tumbuh kembang anak-anaknya.
Inilah perbedaan antara kapitalisme dan Islam dalam pengasuhan. Ibu pun akan kembali mulia dengan perannya sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dalam Islam anak-anak akan tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan hidup sesuai dengan aturan yang sudah Allah SWT tetapkan. Jadi, hanya dengan Islam keluarga akan kembali kuat, dan anak akan menemukan peran ayah yang sesungguhnya. Dibawah aturan Allah SWT juga generasi akan berkembang menjadi generasi yang berakhlak, kuat iman dan siap untuk menjadi generasi cemerlang.
Wallahualam bissawab.
Tags
Opini