Oleh: Nettyhera
(Pengamat Kebijakan Publik)
Insiden tragis yang terjadi pada 28 Agustus 2025 masih meninggalkan luka mendalam di hati rakyat. Seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan (21), tewas mengenaskan setelah terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob di sekitar kompleks DPR RI. Peristiwa ini terjadi di tengah kericuhan aksi massa yang semula digerakkan buruh dengan tuntutan HOSTUM—hapus outsourcing, tolak upah murah—namun melebar menjadi protes rakyat terhadap tunjangan DPR yang fantastis dan kebijakan pajak mencekik (Tirto.id, 28/8/2025; Tempo, 29/8/2025).
Kejadian itu seakan menjadi simbol paling nyata dari watak sistem demokrasi: rakyat diperas lewat kebijakan, lalu dilindas secara harfiah oleh aparat yang seharusnya melindungi mereka. Bukankah tugas utama aparat negara adalah menjaga keselamatan rakyat? Namun, dalam praktik demokrasi, mereka lebih sering tampil sebagai tameng kekuasaan.
Ini bukan kejadian tunggal. Kita masih ingat berderet kasus represif aparat saat menghadapi demonstrasi mahasiswa, kriminalisasi aktivis, hingga perlakuan kasar terhadap masyarakat kecil saat melakukan protes. Semua menegaskan, demokrasi di negeri ini bukanlah rumah aman bagi rakyat, melainkan arena penindasan yang terselubung.
Demokrasi Menuju Otoritarianisme
Jika insiden rantis tabrak ojol ini hanya dipandang sebagai “human error” atau kelalaian sopir, maka kita akan terjebak dalam penyederhanaan masalah. Padahal, akar persoalannya jauh lebih dalam: lahir dari rahim sistem demokrasi sekuler itu sendiri.
Pertama, demokrasi menjadikan aparat sebagai alat kekuasaan, bukan pelindung rakyat. Dalam logika demokrasi, aparat digaji negara untuk menjaga stabilitas kekuasaan, bukan memastikan rakyat terlindungi. Maka wajar bila ketika rakyat bersuara, aparat justru bergerak untuk membungkam, bukan mendengar.
Kedua, demokrasi membuat rakyat diperas habis-habisan. Negara menekan rakyat dengan pajak yang semakin tinggi, utang luar negeri yang kian menumpuk, dan harga kebutuhan pokok yang melonjak. Ironisnya, elite DPR justru bergelimang tunjangan, fasilitas, dan gaji yang terus naik. Inilah paradoks demokrasi: rakyat sengsara, elit pesta pora.
Ketiga, demokrasi mengabaikan asas pelayanan publik. Rakyat seharusnya menjadi pemilik kedaulatan, tetapi dalam praktiknya justru diperlakukan sebagai objek untuk diperas. Aparat ditempatkan sebagai pagar besi yang melindungi kepentingan penguasa dan oligarki, bukan menjadi pelindung keamanan masyarakat.
Jejak Luka Demokrasi pada Rakyat
Dampak dari semua ini sangat nyata di depan mata.
Pertama, rakyat kehilangan kepercayaan terhadap negara. Bagaimana mungkin rakyat percaya, jika setiap aksi menuntut hak justru dibalas dengan gas air mata, pentungan, atau bahkan dilindas rantis? Demokrasi semakin terlihat sebagai sistem yang gagal memberi rasa aman.
Kedua, rasa takut dan trauma semakin melekat. Insiden tabrak ojol bukan hanya merenggut satu nyawa, tetapi juga menorehkan luka psikologis mendalam bagi ribuan saksi mata. Keselamatan rakyat terancam, membuat aspirasi mereka tertahan.
Ketiga, demokrasi gagal menunaikan janji manisnya. Demokrasi digadang-gadang sebagai sistem dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Faktanya, ia berubah menjadi sistem dari elit, oleh elit, untuk elit. Sementara rakyat hanya jadi korban eksploitasi.
Perlindungan Nyawa Rakyat ala Islam
Berbeda jauh dengan demokrasi, Islam menawarkan solusi ideologis yang paripurna dalam naungan Khilafah. Dalam sistem ini, aparat negara atau jund bukanlah alat penguasa, melainkan pelindung rakyat.
Dalam sejarah Islam, kita melihat betapa besar perhatian para khalifah terhadap keselamatan rakyatnya. Khalifah Umar bin Khattab pernah menegur keras bahkan menghukum pejabat dan keluarganya sendiri yang berlaku zalim. Tidak ada istilah aparat kebal hukum.
Militer Islam ditempa bukan hanya dengan kedisiplinan fisik, tetapi juga dengan aqidah Islam yang menanamkan kesadaran: mereka berjuang bukan untuk mempertahankan kekuasaan individu, melainkan untuk menjaga darah, harta, dan kehormatan rakyat.
Dalam sistem Islam, rakyat tidak diperas dengan pajak yang berlapis-lapis. Keuangan negara bertumpu pada pengelolaan kepemilikan umum seperti tambang, energi, dan sumber daya alam. Aparat tidak bisa disewa oleh oligarki, karena mereka hanya tunduk pada hukum syariat.
Institusi Hisbah berfungsi mengawasi pasar, mencegah pungli, dan melindungi rakyat dari penindasan ekonomi. Dengan mekanisme ini, aparat dipastikan berpihak pada rakyat, bukan melindungi kepentingan penguasa zalim.
Penutup
Demokrasi sudah terbukti gagal. Ia melahirkan elit yang rakus, aparat yang represif, serta rakyat yang diperas dan dilindas. Insiden rantis tabrak ojol hanyalah satu fragmen dari rangkaian panjang kebobrokan demokrasi.
Saatnya kita ucapkan “rip democrazy.” Sistem ini telah memperlihatkan wajah aslinya: menipu rakyat dengan jargon manis, lalu menindas dengan kekerasan.
Islam bukan sekadar alternatif, tetapi solusi hakiki. Hanya dengan penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah, aparat dapat benar-benar menjadi pelindung rakyat, bukan algojo penguasa.
Maka, jika benar-benar ingin melihat aparat yang amanah, kebijakan yang adil, dan rakyat yang terjaga darah, harta, serta kehormatannya—jawabannya bukan lagi tambal-sulam demokrasi. Jawabannya adalah kembali pada Islam sebagai sistem hidup yang sempurna.
RIP Demokrasi. Hidup mulia bersama Islam.
Tags
Opini