Krisis Kepercayaan di Tengah Ketimpangan Ekonomi


Oleh : Anne, Muslimah Peduli Umat, Ciparay Kab. Bandung.



Di gedung megah sana musik berdentum, para "wakil rakyat" joget bersama, saat rakyat mendapatkan kesulitan dalam hal-hal mendasar, seperti kebutuhan pokok sehari-hari dan berbagai pajak yang dinaikkan. Tetapi, disisi lain pemerintah malah menaikkan tunjangan-tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR), sehingga pendapatan resmi mereka lebih dari Rp100 juta tiap bulan. "Tentunya hal ini bukan keputusan yang patut dan bijak" ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha kepada BBC News Indonesia, Senin (18/08).
(www.bbc.com)

Wajar jika rakyat muak, bukan hanya soal joget, tapi lebih karena pemerintah membuat jurang antara elit dan rakyat makin menganga lebar. Mereka "wakil rakyat" bergelimang gaji dan tunjangan ratusan juta, bebas pajak pula, bergoyang dan berpesta, seolah tak ada derita di luar gedung megah Senayan. Sementara, rakyat yang menjadi amanah bagi mereka, harus memutar otak demi sesuap nasi, menjerit karena hidup makin berat.

Inilah, wajah asli demokrasi kapitalisme, kekuasaan jadi privilege, jabatan jadi lahan nikmat, bukan amanah. Rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu, setelah itu ditinggalkan. Dalam sistem demokrasi, kesenjangan adalah keniscayaan, karena materi dijadikan tolak ukur hidup. Mereka "wakil rakyat" menentukan besaran anggaran untuk kepentingan mereka sendiri. Jabatan hanya dijadikan bancakan untuk memperkaya diri, hilang empati terhadap yang diwakili, sehingga sebagai "wakil rakyat" abai akan amanah yang mereka emban.

Terbukti sudah, dengan diterapkannya sistem demokrasi kapitalisme, yang didapat hanyalah pengangguran yang makin meningkat, PHK merajalela, harga-harga naik, pajak mencekik, tindak korupsi dan kriminalitas tak terkendali, hukum tumpul ke atas tajam ke bawah. Hidup rakyat makin sempit, dengan ditarik pajak di setiap sudut hidupnya, bahkan usaha kecil terancam dengan aturan royalti absurd. Tetapi, elit penguasa justru berpesta.

Berbeda dengan sistem Islam. Kekuasaan adalah amanah yang berat, pemimpin wajib melayani rakyat karena kelak akan ditanya Allah atas setiap nyawa yang dipimpinnya. Umar bin Khattab hidup sederhana, tidur di atas tanah beratap daun pohon kurma, Umar rela tidak akan tidur sampai rakyatnya kenyang, bahkan Umar menolak anaknya ikut pemilihan khalifah. Itulah, seorang pemimpin yang di contohkan dalam sistem Islam. Bukan malah berjoget di kursi empuk.

Dalam Islam, wakil rakyat yang berada dalam majelis umat, bukan legislatif artinya mereka tidak membuat hukum, karena hukum berasal dari syariah Allah (Al-Qur'an & Sunnah). Sedangkan, adanya mereka berfungsi memberi syura (nasihat) kepada khalifah, menyampaikan muhasabah (kritik/koreksi) terhadap kebijakan penguasa, menjadi wakil umat untuk menyuarakan pendapat, keluhan, dan kebutuhan rakyat.

Sedangkan, upah majelis umat jika butuh untuk menjalankan peran, bisa diberi ujrah (imbalan) secukupnya dari Baitul Mal. Bukan dengan cara memunguti pajak pada rakyat.

Jadi, kepemimpinan dalam Islam bukanlah privilege atau kesempatan untuk menikmati fasilitas, tetapi beban amanah yang berat. Beda dengan sistem kapitalis demoktasi hari ini, jabatan dianggap ladang kekuasaan dan kenikmatan, bukan amanah yang akan dihisab.
wallahu a'lam bish shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak