Oleh : Desi Anggraini
(Penulis Ideologis Lubuklinggau)
Seorang bocah berusia empat tahun, Raya, harus meregang nyawa di sebuah rumah sakit di Sukabumi, Jawa Barat, akibat infeksi cacing yang menyerang organ dalam tubuhnya. Infeksi itu bahkan telah menyebar hingga ke saluran pernapasan dan otaknya. (BeritaSatu, 20/8).
Kehidupan Raya sejak awal memang jauh dari kata layak. Ia tumbuh di tengah keluarga yang serba kekurangan. Ibunya menderita gangguan mental, sementara sang ayah sakit-sakitan. Kondisi itu membuat Raya kurang mendapatkan perawatan. Lingkungan tempat tinggalnya pun memprihatinkan—rumah panggung sederhana dengan bagian bawah dipenuhi kotoran ayam, tempat di mana Raya sering bermain. Dari sanalah sumber penyakit yang akhirnya merenggut nyawanya.
Ironisnya, perhatian pemerintah dan pejabat baru muncul setelah kasus ini terangkat ke publik. Sebelumnya, proses administrasi untuk mengajukan bantuan pengobatan Raya begitu berbelit dan tidak kunjung diproses hanya karena ketiadaan dokumen identitas. Hingga napas terakhirnya, pengajuan itu tak pernah mendapat respons.
Padahal, kesehatan adalah hak mendasar setiap rakyat. Namun, dalam sistem demokrasi berlandaskan kapitalisme, logika untung-rugi menjadi tolak ukur. Tak heran jika layanan kesehatan diperlakukan layaknya barang dagangan—hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki uang dan dokumen lengkap. Sementara rakyat miskin? Seakan “dilarang sakit”.
Kasus Raya bukan sekadar tragedi medis, tetapi juga cermin rapuhnya pelayanan kesehatan negeri ini. Sistem yang ada lebih sibuk mengurus administrasi ketimbang menyelamatkan nyawa manusia.
Islam Menjamin Kesehatan Rakyat
Dalam Islam, kesehatan adalah jaminan negara bagi seluruh rakyatnya. Layanan medis diberikan gratis dan mudah diakses tanpa memandang status sosial. Nyawa manusia ditempatkan pada posisi yang sangat mulia.
Allah SWT berfirman:
> وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
“Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan semua manusia.”
(QS. Al-Maidah: 32).
Ayat ini menegaskan bahwa menyelamatkan satu jiwa lebih utama daripada mempertimbangkan urusan administrasi semata.
Rasulullah ﷺ pun bersabda:
> الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Seorang pemimpin adalah pengurus rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjelaskan bahwa negara wajib memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk dalam urusan kesehatan.
Bahkan dalam sejarah kekhilafahan Islam, para khalifah membangun rumah sakit (bimaristan) di berbagai wilayah. Rumah sakit itu tidak hanya memberikan layanan gratis, tapi juga menyediakan obat, makanan bergizi, hingga perawatan khusus bagi fakir miskin. Semua itu dijalankan tanpa berbelit, karena Islam memandang kesehatan sebagai amanah, bukan barang dagangan.
Kasus Raya seharusnya menjadi pengingat bahwa sistem hari ini gagal menjamin hak dasar rakyatnya. Islam telah memberikan solusi yang paripurna: kesehatan sebagai jaminan negara, pelayanan yang cepat tanpa diskriminasi, serta masyarakat yang saling menolong karena diikat oleh akidah dan ukhuwah Islamiyah.
Dengan penerapan sistem Islam secara kaffah dalam bingkai negara, tragedi seperti yang menimpa Raya tidak akan pernah terulang kembali.
Wallahu a'lam bish-shawwab.
Tags
Opini