Penulis: Ilmi Mumtahanah
Banyak kasus korupsi baru terbongkar setelah seorang pejabat selesai menjabat. Hal ini terjadi karena saat masih berkuasa, ruang pengawasan cenderung terbatas, dokumen lebih tertutup, dan posisi pejabat masih sangat kuat. Namun setelah masa jabatan berakhir, akses menjadi lebih terbuka, sehingga lembaga penegak hukum bisa lebih leluasa menggali bukti, memeriksa saksi, hingga menelusuri aliran dana.
Selain itu, penyelidikan kasus korupsi sendiri membutuhkan waktu lama karena harus melalui audit mendalam dan proses investigasi yang detail.
Contohnya adalah kasus yang menimpa dua mantan menteri. Yaqut Cholil Qoumas, mantan Menteri Agama, diduga terlibat penyalahgunaan kuota haji yang merugikan negara hingga lebih dari Rp1 triliun.
Sementara itu, Nadiem Makarim, mantan Menteri Pendidikan, tengah diselidiki terkait pengadaan Chromebook senilai Rp9,9 triliun dengan potensi kerugian Rp1,98 triliun, serta kasus pengadaan Google Cloud.
Kedua kasus ini baru mencuat setelah keduanya tidak lagi menjabat, memperlihatkan bagaimana proses hukum sering kali berjalan setelah jabatan berakhir, ketika pengawasan dan bukti bisa lebih mudah ditelusuri.
Mengapa korupsi bisa terjadi?
Kalau dilihat dari kacamata Islam, akar masalah korupsi yang baru terbongkar setelah jabatan berakhir sesungguhnya bukan semata soal teknis hukum atau lemahnya sistem pengawasan. Lebih dalam dari itu, masalahnya adalah kerusakan akhlak dan lemahnya iman.
Rasulullah saw. sudah memperingatkan bahwa hancurnya suatu umat berawal dari ketika mereka tidak tegas menegakkan hukum terhadap orang berkuasa, tetapi keras pada orang lemah. Inilah bentuk ketidakadilan yang menjadi lahan subur bagi korupsi.
Islam mengajarkan bahwa jabatan adalah amanah, bukan privilege. Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkannya dengan adil” (QS. An-Nisa: 58).
Korupsi muncul karena amanah dipandang sebagai peluang memperkaya diri, bukan tanggung jawab yang kelak dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Maka, tanpa ketakwaan, sehebat apa pun sistem pengawasan, akan selalu dicari celah untuk disalahgunakan.
Akar masalah lainnya adalah sistem sekuler yang memisahkan agama dari urusan pemerintahan. Dalam praktiknya, jabatan sering dianggap hanya urusan dunia, bukan ibadah. Bukan urusan akhirat.
Padahal, dalam Islam setiap penguasa akan ditanya tentang rakyatnya, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari-Muslim).
Kondisi ini diperparah dengan sistem kehidupan hari ini yaitu kapitalisme, di mana materi dijadikan tujuan utama ketika memegang jabatan. Karena modal yang dikeluarkan sangat besar untuk lobi-lobi politik jabatan, sehingga kecenderungan untuk melakukan korupsi sebagai sarana mengembalikan modal tadi terbuka lebar.
Lantas, bagaimana Islam mencegah dan mengatasi kasus korupsi?
Pertama, Islam menekankan pendidikan akhlak dan ketakwaan sejak dini. Korupsi tidak hanya soal uang, tetapi penyakit hati: rakus, cinta dunia, dan takut miskin.
Jika seorang pemimpin tumbuh dengan kesadaran bahwa setiap amanah akan dipertanggungjawabkan di akhirat, ia akan merasa diawasi Allah (muraqabah) dan menjauhi pengkhianatan. Ini sebabnya Rasulullah saw. dan para sahabat menanamkan rasa takut pada Allah Swt. sebelum memberi jabatan kepada seseorang.
Kedua, Islam mengatur agar pemimpin dipilih berdasarkan amanah dan kompetensi, bukan karena kedekatan atau kepentingan politik. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (HR. Bukhari). Artinya, orang yang dipilih memegang jabatan harus punya integritas, ilmu, dan akhlak yang terbukti, bukan sekadar popularitas.
Ketiga, Islam memiliki sistem hukum yang tegas dan adil tanpa pandang bulu. Khalifah Umar bin Khattab ra. memberi teladan dengan menghukum keras setiap pejabat yang menyalahgunakan jabatan. Harta yang diperoleh tidak wajar disita, dan pelaku diproses hukum tanpa melihat kedudukannya. Dengan begitu, jabatan benar-benar dipandang sebagai amanah, bukan lahan mencari keuntungan.
Keempat, Islam menata sistem ekonomi yang halal dan mencukupi kebutuhan pemimpin maupun rakyat. Para pejabat di masa Islam diberikan gaji layak dari Baitul Mal, agar tidak tergoda mengambil hak rakyat. Namun, mereka tetap diawasi dan dihisab kekayaannya. Jadi, sistem Islam bukan hanya melarang, tetapi juga menyediakan mekanisme agar tidak ada alasan bagi pejabat melakukan korupsi.
Kesimpulannya, solusi Islam bukan hanya perbaikan individu (akhlak dan ketakwaan), tetapi juga perbaikan sistem yang memastikan jabatan adalah amanah, pejabat dipilih yang layak, diberi gaji halal, dan diawasi dengan hukum yang tegas. Dengan itu, korupsi bisa dicegah sejak akar hingga cabangnya. Wallahualam.
