Kritik Penguasa: Antara Suara Jalanan dan Tuntunan Islam

Oleh Butsainah, S.Pd.



Gelombang kekecewaan yang dirasakan oleh masyarakat terhadap rezim penguasa kian menguat dan menghiasi pemberitaan media. Ribuan massa turun ke jalan menyuarakan keresahan, sebagian besar dipicu oleh kondisi ekonomi yang semakin menekan rakyat kecil, dan menguntungkan bagi oligarki. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana jalanan kerap menjadi kanal utama bagi rakyat untuk menyalurkan amarah dan kekecewaan.

Tidak heran bila kemudian muncul fenomena pelajar yang hendak ikut turun ke jalan. Sebanyak 44 pelajar SMA-SMK hingga SMP dari Karawang dan Purwakarta akhirnya diamankan oleh aparat kepolisian karena hendak ikut unjuk rasa ke Jakarta. Namun, dengan statusnya, tidak ada kejelasan mereka bergabung dengan massa yang mana, hingga akhirnya diamankan dan diberi pembinaan bersama pihak sekolah serta orang tua (Detik, 30/08/2025). Tidak hanya di satu atau dua daerah, kasus serupa kerap terjadi di berbagai daerah yang menjadi potret bagaimana keresahan sosial juga berdampak hingga kalangan pelajar.

Amarah Masyarakat: Mengapa Jalanan Dipilih?

Gejolak masyarakat yang akhirnya tumpah di jalanan tentu tidak lahir dari ruang hampa. Ada banyak faktor yang menjadi pemicu memuncaknya amarah rakyat.  Kenaikan harga beras, BBM, dan kebutuhan pokok lainnya kian menekan kehidupan masyarakat kecil (Kompas, 29/08/2025).

Di sisi lain, ketidakpastian lapangan kerja juga menghantui, ancaman PHK di sektor manufaktur dan industry padat karya yang terus membayangi (Tempo, 27/08/2025). Rasa ketidakadilan hukum memperparah keadaan, hukum seolah hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Ditambah lagi, kekecewaan pada elite politik yang janji-janji kesejahteraannya dianggap jauh dari kenyataan, semakin memperlebar jurang kesenjangan antara penguasa dan rakyat. Semua kondisi ini menumpuk menjadi emosi kolektif yang mencari penyaluran.

Maka, bukan hal yang mengherankan bila jalanan kerap menajadi pilihan untuk menyampaikan aspirasi, meski di sisi lain juga memunculkan pertanyaan: apakah ini cara yang paling efektif untuk mengkritik penguasa?

Kritik dalam Pespekstif Islam

Umat, di dalam Islam, memiliki sebuah kewajiban untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Mengingatkan penguasa merupakan bagian penting dari ibadah, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kalimat yang benar di hadapan penguasa zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi). Ini menunjukkan bahwa kritik terhadap penguasa bukan sekedar hak, tetapi bisa bernilai ibadah jika dilakukan dengan cara yang benar. Namun, Islam tidak membatasi kritik hanya sebatas demonstrasi.

Tuntunan Islam menekankan adanya mekanisme koreksi kepada penguasa yang lebih sistemis dan produktif, dengan basis Aqidah dan syariat sebagai standar. Dalam sejarah Islam, para ulama tidak segan menegur penguasa ketika kebijakan yang diambil bertentangan dengan syariat. Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya, tetap lantang mengkritik meski harus menghadapi ancaman dari penguasa. Kritik dalam Islam bukan sekadar luapan emosi, melainkan seruan untuk kembali pada aturan Allah.

Suara Jalanan VS Tuntunan Islam

Dari sini jelas, fenomena pelajar yang ikut demonstrasi sebenarnya merupakan cermin dari keresahan sosial yang lebih luas. Mereka hanyalah bagian dari Masyarakat yang ingin bersuara. Melarang mereka sama saja menutup kran aspirasi, tapi membiarkan mereka tanpa arahan juga berbahaya.

Di sinilah terlihat adanya perbedaan mendasar. Suara jalanan lahir dari ketidakpuasan dan kekecewaan, tetapi sering kali tanpa arah solusi yang jelas. Ia bisa reda seketika setelah tuntutan kecil terpenuhi, namun, yang menjadi dasar dari persoalan tetap tak terselesaikan. Islam justru menawarkan kerangka ideologis: menempatkan syariat sebagai satu-satunya rujukan dalam mengelola urusan rakyat, memastikan keadilan hukum ditegakkan, serta menjadikan penguasa sebagai pelayan umat, bukan penghisap.

Kritik terhadap penguasa adalah suatu keniscayaan, bahkan bagian dari tanda hidupnya nurani dalam diri rakyat. Namun, jalanan seharusnya tidak menjadi satu-satunya pilihan. Islam telah memberi panduan bagaimana koreksi dilakukan: tegas, berlandaskan syariat, dan diarahkan untuk melahirkan perubahan yang hakiki. Maka, jika suara jalanan hanya menjadi gema sesaat, tuntutan Islam justru memberi arah menuju solusi permanen–yakni kehidupan yang diatur sepenuhnya dengan hukum Allah SWT. Inilah yang akan benar-benar menuntaskan kedzaliman dan menghadirkan keadilan bagi seluruh rakyat.

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak