Anarkis Jalanan vs. Anarkis Kebijakan: Rakyat yang Dicap, Elit yang Bermain

Oleh Rifdah Reza R., S.Sos. 
(Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik)


Anarkis, menjadi satu kata yang sering kali paling cepat keluar saat ada aksi massa dari mulut penguasa dan aparatur negara. Faktanya, 44 pelajar Karawang diamankan saat hendak demo ke DPR (Detik, 28/08/2025). Aparat menjustifikasi bahwa aksi rawan anarkis, sehingga perlu dicegah.  Lemparan batu, asap kebakaran, pagar roboh, dan masih banyak lagi disorot oleh kamera di sepanjang aksi seolah-olah menggambarkan rakyat identik dengan perusakan. 

Padahal, kericuhan sering kali terpantik oleh oknum provokator dan tindakan represif aparat yang berlebihan. Namun, framing publik tetap diarahkan bahwa rakyatlah yang anarkis. Maka, ini memantik pertanyaan: benarkan rakyat yang anarkis, atau justru ada yang sengaja melabeli mereka begitu untuk mendelegitimasi suara kritis?

Rakyat termasuk pemuda dan pelajar di dalamnya secara naluriah mempunyai semangat kritis. Pemuda memiliki karakter khas yaitu idealis, kritis, dan penuh energi. Dalam teori gerakan sosial ala Charles Tilly, mereka disebut sebagai early risers, yaitu kelompok yang cepat merespon ketidakadilan. Maka, sangat wajar pemuda bergerak memberikan respons atas kegaduhan yang sedang terjadi.

Dinamika provokasi juga henti menghantui momentum ini dengan terciptanya kericuhan oleh oknum beserta agenda tertentu. McCombs & Shaw dalam Agenda-Setting mengungkapkan bahwa siapa yang menentukan isu dan siapa yang diuntungkan ketika gerakan rakyat dicitrakan rusuh? Jawabannya, jelas elit politik yang ingin delegitimasi gerakan sejak awal.

Di sisi lain, sistem kapitalisme-demokrasi memang menciptakan ruang untuk munculnya kegaduhan. Zuboff dalam Surveillance Capitalism mengungkapkan bahwa sistem ini bukan sekadar mengatur ekonomi, melainkan juga memanipulasi perilaku dan opini. Maka, rakyat yang marah dapat mudah diredam dengan label tertentu lalu perhatian publik dinarasikan sesuai kepentingan. Sementara itu, masalah pokok tetap tidak terselesaikan. Inilah pola dari reproduksi krisis.

Berbeda dengan itu, Islam dengan kesempurnaannya justru mempunyai paradigma yang berbeda. Dalam aturan Islam, ada yang dinamakan hisbah, yaitu memberikan ruang bagi rakyat untuk mengoreksi penguasa secara terbuka, tanpa takut adanya stigmatisasi. Kritik justru diarahkan pada substansi kebijakan yang dengan itu akan melahirkan keefektifan pencarian solusi.

Sheikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa kekuasaan dalam Islam tunduk sepenuhnya pada syariat, bukan pada kepentingan elit. Maka, kebijakan publik tidak akan pernah dilahirkan dari kompromi elit. Hanya dari hukum Allahlah kebijakan dilayangkan dan tentunya ini akan selalu berorientasi pada keadilan.

Artinya, Islam tidak menormalisasi anarkisme jalanan. Sebab, itu memberikan kerugian pada fasilitas umum dan memicu banyaknya fitnah. Islam pun tegas tidak membiarkan “anarkisme kebijakan” yang membebani rakyat. Islam mempunyai jalan efektif: kritik tetap perlu, tapi solusi harus diarahkan pada perubahan sistemis, bukan tambal sulam kebijakan kapitalistik.

Dengan demikian, kapitalisme terbukti melahirkan anarkisme yang sesungguhnya mulai dari pengerukkan kekayaan tanpa memikirkan rakyat, memberi karpet merah pada elit, dan menindas rakyat dengan kebijakan yang tak adil. Sungguh ini adalah anarkis paling berbahaya yang menghancurkan berjuta kehidupan rakyat secara struktural.

Di sini landasan Islam sebagai sistem pengatur amatlah urgen. Sebab, tidakkah kita merenungi QS Al-Isra 81 di tengah kegaduhan ini?  “Katakanlah, “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap.

Lantas, masih kurang jelaskah kebatilan system kapitalis-demokrasi ini? Ingin sampai kapan kita terus memilih berdiri di bawah kebatilan, sementara solusi sejati dari Islam sudah jelas di hadapan? Semoga kita bisa segera menjemut perubahan dengan Islam sebagai landasan. Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak