Gaspol Tunjangan Anggota DPR, Rakyat Dapat Apa?


Oleh: Essy Rosaline Suhendi

Rakyat dikejutkan dengan naiknya tunjangan DPR yang jumlahnya begitu fantastis. Ketua DPR Adies Kadir menyatakan, penghasilan anggota DPR naik hingga 70 juta/bulan, belum terhitung kompensasi rumah dinas senilai 50 juta rupiah. Menurutnya, bertambahnya tunjangan DPR dikarenakan rasa iba Menkeu Sri Mulyani pada anggota DPR (www.tempo.com, 19/08/25).

Cukup menggelitik hati dan pikiran, saat mengetahui keputusan menteri keuangan atas naiknya tunjangan DPR. Pasalnya, saat ini rakyat sedang mengalami kehidupan ekonomi yang sulit, namun bisa-bisanya para wakil rakyat yang justru mendapat simpati dari sang menteri.


Empati Tebang Pilih

Pastilah sangat menyakitkan, jika rakyat mengetahui fakta tersebut, karena yang merasakan beratnya memenuhi kebutuhan hidup selama ini adalah rakyat, rakyat harus banting tulang hanya demi mencukupi kebutuhan pokok keluarga. Sedangkan anggota DPR selama ini dijamin kehidupan dari pajak rakyat.

Sungguh tidak adil, jika mereka yang diwakilkan rakyat justru mendapatkan berbagai fasilitas mewah tanpa rasa khawatir besok bisa makan atau tidak?. Di satu sisi, setiap hari rakyat memutar otak, supaya penghasilan yang tidak seberapa dapat dipakai untuk memenuhi banyak kebutuhan hidup.

Begitulah wajah culas sistem demokrasi kapitalisme, sistem yang memisahkan agama dengan kehidupan dan menjadikan uang sebagai dewa. Akibatnya, politik traksaksional terjadi karena materi dijadikan sebagai tujuan hidup, hingga berimbas pada kesenjangan sosial yang semakin tajam, menjadikan para penguasa elite membuat aturan suka-suka, semisal menentukan besaran anggaran tunjangan untuk kepentingan mereka pribadi.


Malapetaka Jabatan dalam Sistem Demokrasi

Seakan nampak, bahwa jabatan dalam sistem demokrasi sekuler hanya dijadikan alat pejabat untuk memperkaya diri. Pantaslah, jika suara rakyat hanya didengar saat pemilihan umum, karena saat itu mereka membutuhkan suara rakyat, namun ketika terpilih mereka tak peduli dengan kesengsaraan yang rakyat alami, bahkan hilang rasa empati pada rakyat yang diwakili.

Bukankah selama ini rakyat disuguhkan, dengan berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat dan malah keberpihakan nya justru kepada para elite penguasa dan pengusaha, contohnya seperti UU Omnibus Law, UU Minerba, UU ITE, dan Tapera. Hal ini menunjukan, bahwa jabatan tanpa iman hanya akan menimbulkan kerusakan.

Oleh karenanya, Allah Ta'ala memerintahkan manusia untuk menjadikan Islam sebagai agama sekaligus peraturan hidup. Islam memiliki aturan yang khas dalam mengatur kehidupan, karena Islam menjadikan aqidah Islam sebagai dasar yang harus diterapkan dalam seluruh aspek, mencakup ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, pendidikan, dan kesehatan.

Perihal jabatan, Islam memandang bahwa jabatan tidak boleh disalahgunakan dan bukan lambang kehormatan atau keistimewaan. Rasulullah Saw bersabda, "Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu" (HR.Muslim)


Pemerintahan Islam, Mampu Menjaga Amanah

Itulah mengapa, dulu di masa kekhalifahan Islam, umat dididik dengan pendidikan Islam sejak usia dini. Aqidah Islam dijadikan asas dalam ruang lingkup terkecil yaitu keluarga dan juga diterapkan dalam lingkup strategis seperti sekolah, pesantren, atau universitas. Hal demikian meniscayakan terlahirnya generasi yang tangguh, cerdas, dan memiliki kepribadian Islam hingga terlahirnya sosok pemimpin yang amanah.

Bukan hanya itu, Islam juga memiliki majelis umat. Majelis umat adalah lembaga negara yang mewakili rakyat dan anggotanya terdiri dari orang-orang yang dipilih oleh rakyat. Anggota majelis umat terdiri dari warga muslim dan non muslim, hanya saja untuk anggota non muslim dibatasi kewenangannya jika berkaitan dengan syuro dan muhasabah lil hukam.

Anggota majelis umat juga terbebas dari money politics, sebab tugasnya bukan untuk menetapkan kebijakan negara atau membuat aturan yang menguntungkan anggota majelis, namun tugasnya sebatas menyampaikan aduan dari masyarakat terkait kebijakan negara yang memberatkan rakyat atau ada aturan negara yang bertentangan dengan syari'at Islam. Majelis umat menjadi bagian dari umat dan orang-orang didalamnya adalah tokoh masyarakat yang terpilih dan dipercaya oleh masyarakat.

Oleh karenanya, ketika negara menerapkan syari'at Islam secara sempurna, maka akan terbangun kehidupan islami, seluruh masyarakat senantiasa melakukan fastabiqul khoirot, termasuk pemimpin dan seluruh jajaran pejabat akan menjadikan iman sebagai penjaga untuk selalu terikat pada hukum syariat.

Seperti halnya kisah Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq. Sebagaimana gelar Shiddiq yang disematkan pada beliau, beliau terkenal memiliki sifat jujur. Sepanjang masa kepemimpinannya, ia adalah sosok yang selalu sibuk mengurusi urusan umat, bahkan saking sibuknya ia tak sempat memenuhi kebutuhan keluarganya dan pakaian yang ia punya pun penuh dengan tambalan. Atau kita tengok kisah Umar bin Abdul Aziz. Saat itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mematikan lampu istana karena putranya datang untuk urusan keluarga, bukan urusan negara.

Dengan demikian, negara yang dibangun dengan iman dan Islam hanya akan terwujud melalui tegaknya khilafah. Hanya khilafah yang mampu menegakan syariat Islam secara kaffah, karena khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang diwariskan oleh Rasulullah Saw kepada Khulafaur Rasyidin dan kepemimpinan Islam dilanjutkan hingga masa kekhalifahan Utsmani. Selain itu khilafah terbukti mampu melahirkan para pemimpin yang amanah dan hanya takut kepada Allah Swt., bahkan kebutuhan sandang, pangan, dan papan seluruh warga akan dijamin oleh negara. Wallahu'alam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak