Oleh: Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
Realitas yang kita saksikan hari ini sungguh kontras. Di satu sisi, Gaza tengah menghadapi kondisi perang yang tidak seimbang. Penjajah zionis dengan brutal melakukan upaya sistematis untuk mengosongkan Gaza, membombardir rumah sakit, sekolah, dan berbagai fasilitas publik, membunuh tanpa pandang bulu, hingga melancarkan blokade pangan demi pelaparan sistematis penduduknya. Gambaran ini tentu merupakan situasi yang sangat buruk, bahkan semakin kejam dan tidak manusiawi dari hari ke hari.
Namun, di balik kehancuran itu, kita menyaksikan ketangguhan yang luar biasa. Anak-anak dan para pemuda Gaza tetap bersekolah, tetap menghafal Al-Qur’an, tetap bercita-cita tinggi, bahkan mereka meneguhkan tekad untuk tidak meninggalkan tanah kelahirannya. Mereka hidup dalam suara bom yang menderu, tetapi hati mereka berisi cahaya iman yang sulit dipadamkan.
Sementara itu, di sisi lain dunia, kita menyaksikan fenomena yang berbeda. Duck syndrome di kalangan mahasiswa, terutama digambarkan di kampus-kampus bergengsi seperti Stanford. Fenomena ini menggambarkan mahasiswa yang di luar tampak tenang, namun di dalam sedang dilanda stres, tertekan oleh tuntutan hidup, dan nyaris tenggelam dalam beban ekspektasi. Fenomena yang sama juga menjangkiti mahasiswa di Indonesia. Mereka sibuk mengejar standar kesuksesan duniawi yang selalu berhubungan dengan materi, kekuasaan, penghargaan, nilai akademik yang tinggi, karier cemerlang dan gaya hidup mewah yang menjadi simbol kesuksesan. Namun sebetulnya rapuh secara mental dan spiritual. Sebagaimana disampaikan psikolog UGM (Universitas Gadjah Mada), Anisa Yuliandari, psikolog Career and Student Development Unit (CSDU). Duck Syndrome digunakan untuk menggambarkan perjuangan bebek yang nampak tenang di atas permukaan air, namun kakinya panik terus berenang agar tidak tenggalam (detiknews.com, 19-8-2025).
Gambaran tersebut kini sering ditemukan di berbagai kampus, termasuk Indonesia. Mahasiswa ingin terus memenuhi ekspektasi tinggi dari diri sendiri, keluarga dan tuntutan lingkungan. Mereka kemudian berusaha mempertahankan IPK, aktif berorganisasi, magang, ikut lomba, hingga menjaga eksistensi di media sosial.
Realitas yang Berkebalikan
Perbedaan mencolok antara ketangguhan generasi Gaza dan rapuhnya sebagian generasi muda hari ini bukanlah kebetulan. Anak-anak Gaza dibentuk oleh pendidikan Qur’ani. Generasi muda di Gaza dihadapkan dengan kenyataan yang serba sulit dan menempa mereka hingga akhirnya melahirkan kesadaran tinggi bahwa hidup ini adalah perjuangan. Perjuangan untuk membela agama, menjaga kehormatan, serta mempertahankan Masjid Al-Aqsa. Orangtua mereka syahid di hadapan mata. Di tengah kenyataan yang menyayat hati, generasi muda di Gaza tetap tangguh, mereka tetap bersekolah, belajar, dan melanjutkan amanah.
Sementara generasi muda di dunia kapitalis, termasuk di Indonesia, seringkali terjebak dalam sistem sekular kapitalisme yang menuntut mereka menjadi "sempurna" sesuai standar materialistik. Tekanan sosial, pertarungan prestasi akademik, gaya hidup hedon dan konsumtif, ditambah lemahnya iman serta dangkalnya pemahaman terhadap hakikat hidup, membuat mereka mudah tertekan, cemas, bahkan tidak tahu dengan pasti tujuan kehidupan. Fenomena ini sejatinya adalah buah pahit dari sistem kapitalisme sekularistik yang menjauhkan aturan agama dalam menjalankan kehidupan.
Inspirasi dan Solusi dari Islam
Ketangguhan anak-anak Gaza adalah kenyataan yang menginspirasi bagi setiap individu yang cerdas menilik hikmah dari setiap kejadian. Mereka tidak menyerah pada situasi, justru menjadikan perang sebagai ladang menimba pendidikan untuk membentuk generasi berkarakter Islamiyyah, penuh keteguhan dan keberanian. Pelajaran ini semestinya menjadi pelajaran penting bagi mahasiswa muslim di seluruh dunia. Jalan keluar dari tekanan hidup bukan dengan berusaha memenuhi standar palsu kapitalisme, melainkan kembali pada identitas hakiki sebagai muslim yang menerapkan hukum syarak yang Allah SWT. tetapkan atas setiap manusia.
Mereka yang hari ini mengalami duck syndrome mestinya menyadari bahwa standar hidup ala kapitalisme hanya akan memperbudak dan menjerumuskan. Islam menjadi harapan solusi yang nyata berupa standar yang mulia, yakni mengorientasikan hidup untuk meraih ridha Allah SWT., amal diprioritaskan untuk akhirat, dan seluruh aktivitas dibingkai oleh syariat.
Namun, semua ini tidak bisa disolusikan hanya secara parsial individual. Krisis multidimensi yang kini melanda dunia, termasuk tekanan psikologis generasi muda dan tragedi kemanusiaan di Gaza, hanya bisa diselesaikan dengan perubahan sistemis. Dibutuhkan penyatuan kekuatan kaum muslimin di bawah kepemimpinan Islam yang mampu memimpin jihad untuk membebaskan Palestina, sekaligus memberikan naungan syariat Islam dalam bingkai khilafah.
Kekuatan generasi muda di Gaza telah menunjukkan bahwa iman yang kuat mampu melahirkan ketangguhan meskipun di tengah perang yang tidak seimbang. Inilah inspirasi besar bagi generasi muda muslim hari ini. Saatnya mahasiswa muslim menyadari jebakan sistem kapitalisme yang membuat mereka rapuh, lalu kembali membangun diri dengan keimanan dan visi peradaban Islam.
Sebab hanya dengan sistem Islam-lah, anak-anak Gaza dan seluruh generasi muslim dapat kembali merasakan kehidupan yang terhormat, mulia, dan bermartabat. Dan hanya dengan perjuangan menegakkan syariat Islam secara kaffah dalam wadah khilafah, dunia akan terbebas dari krisis multidimensi, termasuk dari penjajahan zionis di bumi Palestina.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Kami ceritakan kepadamu (Muhammad) kisah mereka dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka,"
(QS. Al-Kahf: 13)
Dengan syariat, umat terjaga dalam ketaatan. Hidup terhormat, penuh limpahan rahmat.
Wallahu alam bisshowwab.
Tags
Opini