Oleh: Imanta
Aktivis Mahasiswa
Beberapa kartunis majalah satir ditangkap otoritas Turki setelah menerbitkan ilustrasi yang dinilai menyinggung agama karena dianggap menggambarkan Nabi Muhammad dan Nabi Musa. Kartun itu memicu kecaman luas dari pemerintah dan kelompok konservatif. Presiden Recep Tayyip Erdogan menyebut karya tersebut sebagai "provokasi keji" dan menegaskan bahwa pemerintah tak akan mentolerir penghinaan terhadap nilai-nilai sakral umat Islam. Ilustrasi kontroversial itu menampilkan dua sosok berjabat tangan di langit, dengan latar konflik bersenjata. Banyak pihak menilai gambar itu menyerupai Nabi Muhammad dan Nabi Musa. Kartun tersebut terbit beberapa hari setelah konflik berdarah 12 hari antara Iran dan Israel (cnbcindonesia.com).
Lagi dan lagi, umat Islam dikejutkan oleh tindakan tak beradab penghinaan terhadap Nabi Muhammad shallallahu’alaihi was sallam yang kembali terjadi. Ini bukan peristiwa tunggal. Bukan pula kekhilafan individu. Melainkan sebuah pola yang terus diulang dengan wajah baru, namun akar yang sama: kebencian sistematis terhadap Islam dan simbol-simbol sucinya. Bahkan seluruh fasilitas media digunakan untuk menyampaikannya, seperti karikatur, komik, film, social media, dan lain sebagainya. Ummat Islam dituntut untuk tidak menggunaan perasaan dan emosional dalam menanggapinya. Padahal bagi ummat Islam, cinta kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam harus dijunjung tinggi, maka hal yang sangat wajar jika ada yang menghina Rasulullah, akan melukai batin tiap ummat.
Propaganda anti Islam terus disampaikan kepada mereka yang takut akan kebangkitan dan persatuan Islam. Dalam balutan dalih kebebasan berekspresi, penghinaan terhadap agama menjadi sesuatu yang dilegalkan. Demokrasi, yang digadang sebagai puncak peradaban, justru memberi ruang luas bagi propaganda anti-Islam berkembang tanpa batas. Bukan hanya dibiarkan kadang justru diam-diam disokong oleh sistem yang lahir dari ide sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan.
Mereka yang takut akan kebangkitan Islam, takut akan persatuan umat di bawah panji tauhid, terus berupaya melemahkan umat dengan cara paling menjijikkan: merendahkan sosok Rasul yang kita cintai. Penghinaan ini bukan sekadar serangan verbal, tapi bentuk nyata dari perang ideologi. Perang yang menyasar keimanan, kehormatan, dan jati diri umat.
Selama sistem sekuler demokratis ini tetap dijadikan asas kehidupan, maka penghinaan seperti ini akan terus terulang. Karena sistem ini tidak mengenal batas antara kebebasan dan penghinaan. Ia tidak dibangun atas dasar keimanan, tapi kepentingan.
Solusi hakiki bukan sekadar protes, atau kecaman sesaat. Solusi hakiki adalah dengan mengembalikan kehidupan kita kepada aturan Allah secara menyeluruh (Islam kaffah), yaitu dengan menerapkan hukum syariah dalam seluruh aspek kehidupan, bukan hanya pada ibadah individu, tapi juga dalam politik, ekonomi, pendidikan, dan sanksi hukum. Dan hal ini hanya mungkin akan terwujud dalam naungan institusi yang mampu melindungi kehormatan Islam dan umatnya yaitu Khilafah Islamiyah. Di bawah sistem ini, tidak akan ada celah bagi musuh-musuh Islam untuk menghina Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam atau simbol Islam lainnya. Karena negara Khilafah berdiri sebagai penjaga akidah dan pelindung umat.
Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadis dari jalur Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda,
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ ، وَإِنْ يَأْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ [رواه البخاري ومسلم]
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Ia akan dijadikan perisai saat orang akan berperang di belakangny, dan digunakan sebagai tameng. Jika ia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan adil, maka dengannya, ia akan mendapatkan pahala. Namun, jika ia memerintahkan yang lain, maka ia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam kitab Sharimul Maslul, para ulama, termasuk Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan siapapun baik Muslim maupun Kafir, yang menghina Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam, wajib dihukum mati. Hukuman ini berlaku baik untuk individu, komunitas ataupun negara. Jika yang melakukan adalah negara, maka khilafah akan merespon perilaku tersebut, termasuk dengan jihad. Seperti yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid II, yang mengultimatum inggris dan perancis agar membatalkan teater yang menghina Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, dan mereka tunduk serta patuh akan hal itu.
Kini, kita tak bisa lagi sekadar menjadi penonton atau hanya bereaksi setiap kali Islam disakiti. Sudah saatnya umat Islam bangkit, bersatu, dan memperjuangkan kembali sistem hidup yang dijanjikan Allah sistem yang menjadikan kehormatan Islam lebih tinggi dari segalanya.
Tags
Opini
