Dapatkah Memberantas Korupsi tanpa Syariat IsIam?




Oleh Fauziah Nabihah



Tahun 2025 belum genap setengah jalan, namun kasus-kasus korupsi di Indonesia terus mencuat ke permukaan. Di bulan Juni, Kejaksaan Agung menyita Rp11,88 triliun dari lima entitas Wilmar Group sebagai pengembalian keuntungan ilegal dalam kasus korupsi ekspor CPO, yang dananya dititipkan untuk pemulihan kerugian negara melalui proses hukum di Mahkamah Agung (tirto.id, 17/06/2025).

Selain itu, baru-baru ini media diramaikan dengan mencuatnya kasus korupsi EDC. KPK menyelidiki dugaan korupsi pengadaan 13.000 mesin EDC di bank BUMN senilai Rp2,1 triliun periode 2020–2024, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp700 miliar; 13 orang dicegah ke luar negeri dan barang bukti miliaran rupiah telah disita (beritasatu.com, 30/06/2025).

Ironisnya, sistem demokrasi kapitalisme lah yang membuka banyak celah bagi para penguasa untuk memperkaya diri. Alih-alih menjadi solusi, sistem ini justru menjadi bagi elite politik dan pemilik modal untuk menjalin simbiosis mutualisme.

Contohnya, saat pesta demokrasi yang meniscayakan terjadinya politik transaksional karena setiap kandidat butuh modal politik yang besar agar bisa maju menjadi calon pemimpin atau anggota legislatif. 

Selalu ada politik balas budi pada setiap biaya yang sudah dikeluarkan, baik parpol yang menjadi kendaraan politik si calon maupun pemodal yang menjadi penyokong dana kampanye. Hal inilah yang mendorong munculnya benih gratifikasi hingga membesar menjadi korupsi.

Untuk itu, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kenaikan gaji hakim hingga 280 persen sebagai salah satu aspek untuk menjaga integritas hakim. Peningkatan kesejahteraan finansial ini diharapkan mampu mengurangi potensi konflik kepentingan serta memperkuat komitmen profesional hakim (komisiyudisial.go.id, 13/06/2025). 

Namun, dapatkah kenaikan gaji hakim benar-benar dapat menjadi jalan keluar mengentas kasus korupsi di Indonesia?

Gagasan untuk menaikkan gaji sebagai cara menghapus gratifikasi didasarkan pada pandangan homo economicus, yaitu anggapan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang membuat keputusan berdasarkan pertimbangan untung-rugi secara materi. Dalam kerangka berpikir ini, semakin besar imbalan resmi yang diberikan, seperti gaji dan tunjangan, maka semakin kecil kecenderungan seseorang untuk mencari keuntungan secara ilegal.

Namun, teori ini tidak sepenuhnya berlaku. Karena dalam sistem kapitalisme standart kebahagiaan seseorang adalah tercapainya keuntungan materi. Untuk memenuhinya pun tidak lagi memedulikan halal dan haram karena landasan berpikirnya adalah sekulerisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Inilah yang menyebabkan setinggi apa pun gajinya, keinginan untuk terus memperkaya diri bisa kapan saja muncul. Sekalipun telah diberi gaji yang layak dan ditambah insentif perumahan, transportasi, dan lain-lain. 

Padahal hakim adalah seseorang yang dipercaya menjadi penjaga keadilan dan pelindung hak warga negara. Namun, banyak hakim yang menerima tunjangan layak tetap terjerat gratifikasi. Ini menunjukkan bahwa akar masalah korupsi atau gratifikasi pada lembaga kehakiman tidak hanya terletak pada aspek kesejahteraan, tetapi pada lemahnya integritas pribadi, sistem pengawasan, dan pemahaman ajaran agama yang rendah.

Lemahnya integritas pribadi, sistem pengawasan, dan pemahaman ajaran agama yang rendah tidak bisa dilepaskan dari sistem hidup yang menaungi negeri ini, yaitu sekularisme, termasuk sistem hukumnya. Kasus-kasus ini membuktikan bahwa sistem sekuler kapitalistik tidak bisa diandalkan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. 

Berbeda dengan Islam yang memiliki cara tersendiri dalam mencegah dan menangani kasus korupsi. Sistem peradilan Islam merupakan satu kesatuan sistem Islam yang terpancar dari akidah. 

Islam menjadikan akidah islam sebagai asas kehidupan setiap individu termasuk juga menjadi asas negara. Jabatan merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di  hadapan Allah. Hal ini akan menjadikan setiap individu berbuat jujur dan tidak menjadikan jabatan sebagai sarana untuk meraih keuntungan materi tanpa memedulikan halal dan haram. 

Besar kecilnya gaji yang diberikan kepada hakim tidak urusannya dengan penegakan hukum di suatu negeri selama hukum yang ditegakkan bukan dari Allah, sebagai Pencipta dan Pengatur. Seharusnya, hukum yang diterapkan oleh para hakim hanya bersumber dari wahyu yaitu Al-Qur’an dan Sunah. Peran hakim bukan membuat hukum, tetapi hanya menggali hukum dari nas-nas syariat. Pembuat hukum adalah mutlak haknya Allah Swt. 

Selain itu, Islam juga memiliki mekanisme untuk menjaga integritas setiap individu, rakyat, dan pejabat, termasuk sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Karena itu, korupsi akan dapat dicegah dalam negara yang menjalankan aturan Islam secara kaffah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak