Oleh: Hamnah B. Lin
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencegah 13 orang ke luar negeri dalam rangka penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di salah satu bank pelat merah. Langkah ini dilakukan untuk memastikan proses hukum berjalan lancar dan efektif.
Budi menjelaskan, permintaan pencegahan diajukan pada 26 Juni 2025, dan berlaku aktif sejak 27 Juni. Namun, identitas atau peran dari ke-13 orang tersebut masih belum diungkap ke publik. Menurut KPK, kasus dugaan korupsi ini terkait proyek pengadaan EDC dengan nilai mencapai Rp 2,1 triliun dan berlangsung pada periode 2020-2024 ( Beritasatu, 30/06/2025 ).
Sistem ekonomi kapitalisme neoliberal yang diterapkan di negeri ini berpijak pada kebebasan kepemilikan (freedom of ownership). Akibatnya, negara tidak memiliki kekuasaan atas sumber daya alam (SDA). SDA malah diserahkan kepada pihak swasta (asing dan aseng) yang menjelma menjadi oligarki.
Di sisi lain, sistem politik demokrasi yang pragmatis transaksional menjadi lahan subur bagi tumbuhnya tindak pidana korupsi dan kolusi. Dalam pragmatisme politik demokrasi, transaksi antara aktor politik sering terjadi, seperti barter kekuasaan, pemberian jabatan, atau dana kampanye. Transaksi ini bisa menjadi bentuk kolusi atau nepotisme yang melanggar hukum, terutama jika melibatkan penyalahgunaan wewenang atau anggaran negara. Dalam hal ini partai politik bisa menjadi sumber praktik suap dan korupsi. Apalagi partai politik sekuler yang sejak awal berdiri telah berpaham pragmatisme.
Kekuasaan yang cenderung korup dalam sistem sekuler kapitalisme akibat tidak ada kontrol agama terhadap perilaku manusia saat menjadi penguasa. Agama hanya boleh termanifestasi dalam sektor privat, yaitu akidah, ibadah, dan akhlak. Sedangkan dalam sektor publik yang salah satunya adalah sistem politik kenegaraan, agama tidak boleh hadir dan mengatur. Akibatnya, kekuasaan berjalan liberal, penguasa pun seolah-olah berwenang untuk berbuat semaunya demi meraih dan mempertahankan kekuasaannya, termasuk adanya tindakan korup.
Dalam Islam, korupsi adalah tindakan berdosa dan pelakunya akan diberi sanksi.
Siapa saja yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepada dia telah kami berikan rezeki (gaji) maka yang diambil oleh dia selain itu adalah kecurangan (ghulul).” (HR Abu Dawud). Juga dalam hadis, “Barang siapa berlaku ghulul maka ia akan membawa barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat.” (HR At-Tirmizi).
Adapun gratifikasi termasuk harta ghulul. Rasulullah saw. bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Ahmad).
Islam menyelesaikan korupsi secara konkret dengan menutup semua celah korupsi. Secara asasi, sistem Islam membentuk akidah Islam pada diri setiap rakyat melalui sistem pendidikan, halaqah para ulama, dakwah para dai, dan konten Islami di media massa maupun media sosial. Dengan demikian akan terwujud self control pada diri umat Islam untuk selalu taat pada syariat dan menjauhi kemaksiatan yang salah satunya adalah korupsi.
Secara preventif, paling tidak ada enam langkah untuk mencegah korupsi. Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib yang amanah, serta berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme.
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Rasul saw. mencontohkan hal itu. Tidak ada yang meragukan ketakwaan Sahabat Muadz bin Jabal ra. Namun, tatkala Rasul saw. mengutus Muadz ke Yaman menjadi ‘âmil (kepala daerah setingkat bupati) dan ia sudah dalam perjalanan, Rasul saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil Muadz agar kembali. Lalu Rasul saw. bersabda kepada Muadz, “Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berkhianat, pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu (TQS Ali Imran [3]: 161). Karena inilah aku memanggilmu. Sekarang, pergilah untuk melakukan tugasmu.” (HR At-Tirmidzi dan Ath-Thabarani).
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Nabi saw. bersabda, ”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tetapi tidak punya rumah, hendaklah ia mengambil rumah. Jika tidak punya istri, hendaklah ia menikah. Jika tidak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).
Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Rasul saw. bersabda,
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
“Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuknya, maka apa yang ia ambil setelah itu adalah harta ghulûl.” (HR Abu Dawud dan Al-Hakim).
Kelima, Islam memerintahkan untuk melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab ra. biasa menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.
Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Pemberantasan korupsi tentu akan menjadi lebih sempurna jika disertai dengan kontrol dari masyarakat, khususnya para ulama.
Secara kuratif, Islam dalam sistem pemerintahannya yakni negara khilafah akan menegakkan hukum dengan adil, tidak ada tebang pilih. Khilafah juga memberi sanksi tegas pada koruptor. Dengan demikian, siapa pun yang terbukti berbuat korup akan dihukum, meski ia keluarga pejabat. Mereka akan diumumkan (tasyhir) di media massa sehingga hal itu menjadi sanksi sosial. Selain itu, qadhi akan menetapkan sanksi takzir bagi koruptor. Hukumannya berdasarkan ijtihad khalifah atau qadhi sebagai wakilnya dalam menangani tindak pidana, termasuk kasus korupsi. Hukuman tertinggi atas tindakan korupsi bisa sampai hukuman mati. Sedangkan hukuman lainnya bisa berupa penjara, pengasingan, atau denda. Semua hukuman itu akan memberi efek jera pada pelaku (zawajir) dan menebus dosanya di akhirat (jawabir).
Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil dalam sistem Islam. Sebaliknya, sulit sekali, bahkan mungkin mustahil terwujud dalam sistem sekuler seperti sekarang ini. Maka, upaya penerapan dan penegakan syariat Islam di negeri ini secara menyeluruh dan total harus segera diwujudkan. . WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
