Korupsi Merajalela, Saatnya Terapkan Islam Kaffah



Oleh Nettyhera
(Pengamat Kebijakan Publik) 


Korupsi seolah menjadi kisah tak berujung di negeri ini. Kasus-kasus baru terus bermunculan, sementara kasus lama tak kunjung tuntas. Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh kasus dugaan korupsi pengadaan alat EDC (Electronic Data Capture) di Bank BRI. Nilainya sungguh mencengangkan, yakni mencapai Rp2,1 triliun. Kasus ini bahkan memaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencegah 13 orang bepergian ke luar negeri demi kepentingan penyelidikan.

Tak hanya itu, kasus korupsi di proyek infrastruktur jalan di Sumatera Utara juga menyedot perhatian. Rekayasa dalam e-katalog proyek ini menjadi bukti bahwa korupsi bukan hanya perkara individu, melainkan melibatkan jejaring besar dan terstruktur. Ironisnya, semua ini terjadi di tengah upaya pemerintah yang katanya sedang melakukan efisiensi anggaran. Berbagai pemangkasan anggaran terjadi di banyak sektor, mulai dari tunjangan guru, dana bansos, riset, hingga sektor pertahanan. Namun, di balik semua pemangkasan itu, praktik korupsi tetap merajalela.

Inilah wajah asli negeri yang dikelola dengan sistem kapitalisme sekuler neoliberal. Sistem yang menjadikan negara hanya sebagai fasilitator kepentingan korporasi dan pemilik modal, bukan sebagai pelayan rakyat. Dalam sistem ini, jabatan politik tak lebih dari alat transaksi untuk memperkaya diri dan kelompok. Para pejabat bukan berjuang demi kepentingan rakyat, melainkan demi mengamankan bisnis dan memperbesar keuntungan pribadi.

Dalam sistem ini, demokrasi yang dipuja-puja justru menjadi pintu masuk budaya politik transaksional. Jabatan diraih lewat mahar politik yang mahal, yang kemudian dibayar kembali melalui berbagai praktik korupsi begitu seseorang duduk di kursi kekuasaan. Tak heran, korupsi terus beranak pinak, bahkan di semua lapisan, mulai dari pusat hingga daerah. Meski lembaga antikorupsi dibentuk, meski undang-undang diperketat, korupsi tetap tak bisa dibasmi. Inilah bukti nyata bahwa akar persoalannya bukan sekadar lemahnya hukum, tapi cacatnya sistem itu sendiri.

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang gagal, Islam justru menawarkan solusi yang hakiki dan menyeluruh. Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan, bukan hanya di dunia, tetapi juga di hadapan Allah kelak di akhirat. Seorang pemimpin dalam Islam bukan pelayan korporat atau alat kepentingan segelintir elit, melainkan pelayan rakyat yang terikat penuh dengan syariat Allah.

Islam menanamkan ketakwaan individu yang menjadi benteng utama dari tindakan korupsi. Setiap individu, khususnya pejabat, selalu diingatkan bahwa Allah Maha Melihat setiap perbuatannya, sekecil apa pun itu. Selain itu, masyarakat juga wajib melakukan amar makruf nahi munkar, yakni menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran secara aktif, termasuk mengoreksi penguasa tanpa rasa takut.

Dalam sistem Islam, sanksi bagi pelaku korupsi sangat tegas dan menjerakan. Tidak ada kompromi atau “drama hukum”. Jika ada pejabat yang terbukti melakukan korupsi atau penyalahgunaan wewenang, seluruh harta hasil korupsinya akan disita dan dikembalikan kepada negara, serta pelakunya akan dikenai hukuman berat yang bisa memberikan efek jera.

Sistem ekonomi Islam juga sangat berbeda. Islam menutup celah praktik korupsi dengan mengatur ekonomi secara adil, tanpa riba dan monopoli. Aset-aset vital seperti tambang, listrik, dan air dikelola negara untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan diprivatisasi untuk segelintir orang. Selain itu, struktur pemerintahan dalam Khilafah Islamiyah sangat sederhana, tanpa lembaga legislatif yang sarat lobi politik. Semua hukum bersumber dari syariat yang tetap, bukan hasil kompromi politik.

Fakta sejarah menunjukkan betapa tegasnya Islam dalam memberantas korupsi. Pada masa Rasulullah ﷺ, pernah terjadi kasus penggelapan (ghulul) yang melibatkan seorang amil zakat bernama Ibnu al-Lutbiyah. Ia menerima sebagian harta zakat lalu berkata, “Ini untukku, dan ini milik negara.” Mendengar laporan itu, Rasulullah ﷺ segera naik ke mimbar dan bersabda tegas, "Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang mengambil sesuatu tanpa haknya, melainkan pada hari kiamat kelak dia akan datang membawanya, baik berupa unta, sapi, atau kambing yang ia gelapkan." Rasulullah ﷺ juga memerintahkan agar harta yang digelapkan tersebut segera dikembalikan ke kas negara (Baitul Mal).

Kisah lainnya terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Ketika mendapati seorang gubernur hidup mewah di luar kewajaran, Umar segera memerintahkan penyelidikan asal-usul hartanya. Jika terbukti kekayaannya tak wajar, Umar langsung menyita kelebihan hartanya untuk dikembalikan kepada negara. Tak peduli seberapa tinggi jabatannya, Umar menegakkan hukum secara adil dan tegas.

Dua contoh tersebut menjadi bukti nyata bahwa Islam bukan hanya wacana dalam memberantas korupsi. Islam benar-benar memiliki perangkat hukum yang mampu mencegah dan menindak korupsi hingga ke akar-akarnya.

Melihat realitas hari ini, sudah saatnya kita jujur mengakui kegagalan sistem kapitalisme. Korupsi tak akan pernah hilang dalam sistem ini, karena memang sistemnya membuka ruang untuk itu. Umat Islam harus menyadari bahwa solusi hakiki hanya ada dalam penerapan Islam secara kaffah.

Sudah waktunya umat bangkit dan menyerukan perubahan sistem secara total. Tak cukup hanya mengutuk korupsi atau menuntut penegakan hukum tegas, tetapi harus ada perjuangan nyata untuk menegakkan sistem Islam kaffah. Hanya dengan sistem ini, korupsi bisa benar-benar diberantas, keadilan ditegakkan, dan kesejahteraan umat tercapai.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak