Korupsi Menggurita, Buah Sistem Sekulerisme-Kapitalisme




Oleh, Rus Ummu Nahla


Korupsi lagi, lagi-lagi korupsi. Rakyat Indonesia tidak ada henti-hentinya disuguhkan pemberitaan tentang korupsi. Berderet susul menyusul seperti gerbong kereta yang sedang berjalan. Belum selesai kasus korupsi yang satu sudah muncul kasus korupsi yang baru.

Belum lama ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil melakukan penggeladahan  di salah satu kantor pusat bank pelat merah, penggeladahan tersebut dilakukan karena diketahui ada dugaan tindak pidana korupsi  proyek pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di salah satu bank pelat merah. Nilai proyek yang disorot mencapai Rp 2,1 triliun, berlangsung pada periode 2020 hingga 2024, Beritasatu.com, Senin, (30/6/2025)."

Kasus korupsi  EDC di Bank BRI ini semakin menambah deretan panjang kasus korupsi yang terjadi di negeri ini.
Ironisnya kasus korupsi ini terjadi di tengah adanya penekanan anggaran negara, seperti pengurangan dana bansos, dana PBI, pengurangan tunjangan kinerja guru, dan lain-lain. Rakyat seperti tidak boleh menikmati uang negara, dengan narasi yang dibungkus manis yakni untuk efisiensi anggaran.


Hukum Tumpul

Keberhasilan KPK dalam menangkap para koruptor belum mampu menghadirkan kebahagiaan bagi rakyat. Mengapa demikian? Sebab meski satu per satu kasus korupsi ditangani, uang negara yang telah dicuri oleh para koruptor, tidak jelas mengalir dan pengembaliannya. Alih-alih dikembalikan untuk kepentingan rakyat atau minimal mampu membayar utang negara, namun realitanya yang hanya menjadi tumpukan yang dipamerkan , setelah itu tidak ada transparan kemana uang hasil korupsi tersebut.

Hukuman yang dijatuhkan pun sangat ringan, tidak setimpal dengan kerusakan yang ditimbulkan, sehingga tidak menimbulkan efek jera. 
Berdiri tegaknya lembaga hukum dianggap tidak begitu berarti sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, sehingga para pemangku jabatan tidak memikirkan bagaimana dia bisa menjalankan amanah namun lebih cenderung menjadikan jabatannya hanya sebagai ladang keuntungan pribadi.


Di samping itu, sistem politik demokrasi yang dianut oleh Indonesia meniscayakan calon pejabat negara untuk mengeluarkan modal yang sangat besar. Sehingga saat menjabat mereka mencari celah agar dapat mengembalikan modal. Hal inilah  yang semakin memperkuat alasan mengapa praktik korupsi di kalangan elite politik menjadi hal yang dianggap wajar dan lumrah

Padahal ketika Islam dipahami dengan benar yakni sebagi pengatur kehidupan, maka seluruh manusia dimanapun berada akan mengikat dirinya dengan aturan agama, terutama Islam yang sangat melarang perbuatan korupsi.

Solusi Islam dalam Memberantas Korupsi

Dalam sistem Islam, negara tidak akan membiarkan kasus korupsi terjadi, negara akan menerapkan langkah untuk mencegah dan membasmi korupsi, dengan menerapkan beberapa langkah.
Yang pertama, negara akan menerapkan sistem perekrutan yang mumpuni, hanya orang yang amanah, berintegritas, serta profesional menjadi syarat  para calon pejabat 

Yang kedua, negara akan memberikan gaji yang layak dan mencukupi. Agar para pejabat ketika melaksanakan tugas dalam mengemban amanahnya bisa bekerja dengan sebaik-baiknya, tidak memikirkan kebutuhan hidup keluarganya  karena sudah tercukupi.

Ketiga, negara akan menerapkan sanksi tegas bagi pelaku korupsi, yakni berupa  sanksi ta'zir.  Sanksi ta'zir ini tergantung kebijakan penguasa  berdasarkan ketentuan syariat, dengan memepertimbangan kecil dan besaranya uang yang di korupsi. Jika korupsinya dalam jumlah banyak hingga membahayakan keuangan negara, maka koruptor bisa dijatuhi hukuman mati.  Jika korupsinya kategori ringan maka sanksinya adalah berupa nasehat atau diberikan teguran, penjara, di cambuk, denda, atau berupa sanksi sosial ( Nizham al-U'qubat, hal. 78-89). Adapun Hukuman dalam Islam diterapkan untuk memberikan efek jera bagi koruptor dan dalam rangka mencegah agar tidak terjadi lagi kasus korupsi lainnya.

Keempat, negara akan menerapkan sistem pembuktian harta pejabat. Sebagaimana hal ini pernah dicontohkan pada masa Umar bin Khattab, bahwasanya beliau menghitung kekayaan para pejabat diawal dan akhir jabatannya, jika didapatkan ada pejabat yang kekayaannya bertambah secara tidak wajar setelah menjabat, maka para pejabat tersebut diminta menjelaskan dengan terang darimana asal usul harta tersebut, jika penjelasan tidak memuaskan, maka kekayaan tersebut akan disita dan dibagi dua, separuh miliknya dan separuh diserahkan ke Baitulmal.

Demikianlah, sistem Islam tidak hanya memiliki mekanisme pencegahan, namun juga solusi tuntas dalam memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, para pemangku jabatan tidak akan pernah berfikir untuk korupsi.


Wallahu ‘alam bis Asshawab




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak