Oleh: Nettyhera
(Pengamat Kebijakan Publik)
Sampah bukan sekadar perkara bau atau pemandangan menjijikkan yang merusak estetika kota. Lebih dari itu, ia adalah simbol telanjang dari wajah bobroknya tata kelola negara. Ketika gunungan sampah terus menggunung, aroma busuk menyelimuti pemukiman, dan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) justru menjelma sumber bencana, maka yang terjadi bukan sekadar kelalaian teknis. Ini adalah kegagalan sistemik.
Kita tidak sedang bicara tentang tumpukan plastik dan organik semata. Kita sedang menyaksikan kegagalan ideologi yang tak mampu menempatkan pengelolaan lingkungan sebagai amanah publik yang mulia. Negara abai, rakyat terpapar, dan bumi rusak perlahan.
TPA Galuga: Cerminan Masalah yang Terus Diulang
Kasus TPA Galuga di Bogor kembali menyedot perhatian. Buruknya pengelolaan limbah di sana membuat Kementerian Lingkungan Hidup pun turun tangan. Gunungan sampah menjulang, air lindi mencemari tanah dan sungai, sementara bau menyengat menjadi penderitaan warga saban hari.
Di balik berita itu, kita kembali dipertontonkan pola yang berulang: solusi tambal sulam, respons reaktif, dan penanganan yang hanya aktif ketika media menyorot. Pemerintah daerah sering berdalih kurangnya alat berat, minimnya petugas, atau keterbatasan anggaran. Namun, benarkah akar persoalan hanya soal teknis?
Perspektif Ekonomis: Akar Sistemik Masalah Sampah
Masalah lingkungan, termasuk pengelolaan sampah, tak bisa dilepaskan dari cara pandang sistemik negara. Dalam sistem sekuler, urusan publik—termasuk pengelolaan sampah—dipandang dari sudut manfaat dan ekonomi, bukan sebagai amanah ilahiah.
Lingkungan hidup dijadikan komoditas. Pengelolaannya baru berjalan jika ada anggaran atau potensi keuntungan. Ketika anggaran defisit, urusan lingkungan terabaikan. Ketika proyek dan investor berbicara, maka aspek ekologis kerap dikorbankan.
Inilah akar masalah yang sebenarnya: tiadanya paradigma ideologis yang menjadikan pengelolaan sampah sebagai kewajiban negara kepada rakyat, bukan proyek musiman.
Warga Terkepung Sampah, Negara Malah Lepas Tangan
Warga di sekitar TPA Galuga bukan hanya terganggu, tapi menderita. Mereka terpaksa hidup berdampingan dengan bau menyengat, air tercemar, dan ancaman kesehatan. Ironisnya, penanganan masih bergantung pada swadaya masyarakat atau kerjasama dengan pihak swasta.
Sistem yang ada saat ini mengandalkan mekanisme pasar. Artinya, jika tak ada keuntungan, maka tak ada pelayanan. Ini sangat kontras dengan prinsip Islam yang mewajibkan negara memenuhi kebutuhan dasar rakyat tanpa syarat ekonomi apa pun.
Islam, Solusi Terpadu dan Teruji dalam Mengelola Sampah
Tak banyak yang tahu bahwa peradaban Islam di masa lampau—terutama ketika Khilafah Islamiyah tegak—telah menerapkan sistem pengelolaan lingkungan dan sampah yang sangat maju untuk zamannya.
Cordoba dan Kairo dikenal sebagai kota-kota terbersih dunia pada abad ke-10. Cordoba memiliki penerangan jalan, sistem saluran air dan limbah yang rapi, serta penjagaan kebersihan publik yang ketat. Sementara itu, kota-kota Eropa kala itu masih tenggelam dalam kotoran manusia, bangkai hewan, dan wabah penyakit.
Prinsip-prinsip Islam dalam Pengelolaan Sampah
1. TPA Berlokasi di Luar Kota dan Tidak Mengganggu Warga
Rasulullah ﷺ dan para khalifah menempatkan lokasi pembuangan sampah jauh dari permukiman. Ini menunjukkan keseriusan dalam zonasi lingkungan dan pencegahan penyakit.
2. Sampah Diolah, Bukan Ditumpuk Sembarangan
Sampah organik diolah jadi pupuk. Sampah non-organik dikumpulkan oleh pengrajin daur ulang. Di Baghdad dan Kairo, para tukang daur ulang menjadi bagian integral dari sistem kebersihan kota.
3. Negara Bertanggung Jawab Penuh, Petugas Digaji dari Baitul Mal
Pembersih jalan dan pengangkut sampah adalah pegawai negara. Tidak ada pungutan iuran kepada warga. Pengelolaan adalah tanggung jawab negara sepenuhnya.
4. Lembaga Hisbah dan Muhtasib Menegakkan Disiplin Lingkungan
Muhtasib bertugas memastikan kebersihan publik, menindak pelanggaran seperti membuang sampah sembarangan, mencemari sungai, atau selokan kotor. Dalam kitab-kitab hisbah seperti karya Imam Al-Ghazali dan Ibn Ukhuwwah, pelanggaran semacam itu dikenai sanksi tegas.
5. Tidak Boleh Mencemari Air, Udara, dan Tanah
Islam menjaga kepemilikan umum. Sungai, udara, dan tanah tidak boleh tercemar oleh limbah industri atau rumah tangga. Tindakan pencemaran tergolong dharar yang wajib dicegah dan ditindak.
6. Swadaya dan Wakaf Didorong, Bukan Dimonopoli Swasta
Di masa lalu, banyak fasilitas kebersihan dibangun dari dana wakaf: tempat sampah umum, sumur cuci, hingga gerobak pemilah sampah. Warga merasa berkewajiban menjaga kebersihan karena dorongan iman, bukan semata aturan.
Islam Tidak Butuh Swasta dalam Urusan Hajat Umum
Dalam sistem Islam, tidak ada privatisasi layanan publik. Sampah, air, listrik, dan kesehatan adalah bagian dari hajat ‘ammah (kebutuhan umum) yang wajib dikelola negara tanpa logika bisnis. Anggaran berasal dari baitul mal (kas negara) termasuk dari pengelolaan kepemilikan umum dan negara, pos kharaj, jizyah, fai’, dan ghanimah.
Tak ada iuran, tak ada subsidi silang, dan tak ada penyerahan kepada swasta. Semua diurus langsung oleh negara sebagai wujud tanggung jawab amanah. Penguasa bukanlah pedagang, melainkan pelayan umat.
Islam Bukan Utopia: Ia Pernah Membuktikannya
Sebagian menyangka bahwa sistem Islam hanya ideal dalam teori. Tapi sejarah membuktikan sebaliknya. Islam telah melahirkan kota-kota bersih dan sehat ketika dunia masih terjebak dalam kegelapan peradaban. Islam memiliki sistem menyeluruh yang terbukti mampu mengelola urusan umat dengan prinsip yang adil, bersih, dan berkelanjutan.
Menutup Lubang Masalah, Bukan Menambalnya
Selama ini, pengelolaan sampah bersifat reaktif, bukan preventif. Pemerintah menunggu krisis, baru bertindak. Islam mengajarkan sebaliknya: mencegah sebelum membusuk, merancang tata kota dengan kesadaran ekologis, dan menjaga kebersihan sebagai bagian dari keimanan.
Saatnya Kembali pada Islam Kaffah
Jika negeri ini ingin benar-benar menyelesaikan masalah lingkungan—termasuk krisis sampah—maka solusi sejatinya bukan sekadar program daur ulang, edukasi warga, atau proyek sanitasi. Solusinya adalah dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah. Sebuah sistem yang tidak melihat sampah sebagai urusan teknis semata, tetapi bagian dari pengurusan umat dan bentuk ketakwaan kepada Allah.
Kini saatnya bertanya kritis:
Sampah makin menggunung, tapi sampai kapan kita bertahan dalam sistem yang terbukti gagal ini?
Islam bukan utopia. Ia pernah memimpin dunia—dengan peradaban bersih, sehat, dan beradab. Kini saatnya kita membuktikan kembali bahwa Islam bukan hanya untuk masjid, tapi juga untuk tata kelola lingkungan. Karena hanya dengan penerapan Islam secara menyeluruh dalam naungan Khilafah, bumi ini akan kembali terjaga, bersih, dan diberkahi.
Tags
Opini