Oleh: Nettyhera
(Pengamat Kebijakan Publik)
Pemerintah Kabupaten Bogor telah meresmikan Peraturan Daerah (Perda) tentang Drainase. Langkah ini diambil untuk mengatasi banjir dan genangan yang kerap melanda saat musim hujan. Bupati Bogor, Rudy Susmanto, menegaskan bahwa drainase bukan urusan sepele, tapi masalah serius yang menyangkut keselamatan dan kenyamanan masyarakat.
Pernyataan tersebut tentu patut diapresiasi. Namun, jika kita telisik lebih dalam, kita akan menyadari bahwa banjir yang terus berulang bukan sekadar persoalan saluran air yang tersumbat. Ia adalah gejala dari penyakit sistemik yang lebih besar—yakni tata kelola lingkungan dan pembangunan yang keliru. Maka, saatnya kita meninjau ulang cara kita memandang persoalan dan mencari solusi yang lebih fundamental.
Banjir: Simptom dari Tata Kelola yang Rusak
Banjir bukan hal baru bagi warga Bogor dan daerah lainnya di Indonesia. Hujan sedikit saja bisa membuat jalan tergenang dan rumah terendam. Tentu, drainase yang buruk berperan dalam hal ini. Tapi akar masalahnya lebih kompleks: rusaknya kawasan resapan air karena alih fungsi lahan, pembangunan tak terkendali di daerah lereng, perizinan yang longgar, hingga orientasi pembangunan yang berpusat pada keuntungan, bukan keberlanjutan.
Pemerintah mungkin berharap Perda Drainase bisa jadi solusi. Tapi fakta di lapangan sering menunjukkan bahwa regulasi hanyalah dokumen. Tanpa penegakan yang tegas dan sistem yang mendukung, perda hanya akan menjadi hiasan rak administrasi.
Islam Kaffah: Solusi Tak Sekadar Teknis, Tapi Sistemis
Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya mengatur ibadah ritual, tapi juga memiliki sistem tata kelola pemerintahan, termasuk urusan lingkungan, drainase, dan pencegahan bencana.
Dalam pemerintahan Islam (Khilafah), pengelolaan drainase tidak berdiri sendiri. Ia menjadi bagian integral dari sistem tata kota dan kebijakan pembangunan wilayah. Berikut ini beberapa prinsip dan praktik teknis dalam Islam terkait pengelolaan drainase dan pencegahan banjir:
1. Kebijakan Tata Ruang Berbasis Syariat
Islam melarang segala bentuk pembangunan yang merusak keseimbangan alam. Khalifah akan menunjuk ahli teknik dan ahli lingkungan (ahlul khibrah) untuk merancang wilayah permukiman, pertanian, industri, dan hutan sesuai prinsip maslahat. Kawasan resapan dan hutan lindung tidak boleh dialihfungsikan tanpa pertimbangan ekologis yang ketat. Jika terjadi pelanggaran, negara akan bertindak tegas, bukan malah memberi celah lewat celah hukum atau permainan izin.
2. Infrastruktur Terencana dengan Sumber Dana Halal
Pemerintah Islam akan membangun sistem drainase, bendungan, kanal, dan jalur air dengan pendanaan dari Baitul Mal (lembaga keuangan negara). Dana ini bersumber dari pos harta milik umum, jizyah, kharaj, dan lainnya—bukan utang luar negeri atau investasi asing yang mengikat. Sehingga pembangunan tak tergadai kepentingan kapitalis.
3. Larangan Komersialisasi Aset Publik
Sungai, hutan, dan air adalah milik umum yang wajib dikelola negara demi kemaslahatan rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaannya ke swasta, apalagi asing. Hal ini merujuk pada sabda Nabi SAW:
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud)
Dengan prinsip ini, kawasan-kawasan sumber daya air akan dilindungi secara total, bukan dijual untuk pembangunan vila atau resort.
4. Sanksi Tegas bagi Pelanggar Lingkungan
Dalam sistem Islam, setiap pelanggaran terhadap hak umum seperti pengrusakan sumber air, pembabatan hutan secara ilegal, atau pembangunan tanpa izin yang merusak tata ruang, akan dikenakan sanksi yang jelas. Negara akan memastikan keadilan ditegakkan, tanpa pandang bulu, karena pemimpin dalam Islam adalah pelayan umat dan penegak hukum Allah.
5. Pendidikan dan Kesadaran Lingkungan
Negara Islam tidak hanya mengandalkan hukum, tapi juga membangun kesadaran. Pendidikan sejak dini akan menanamkan nilai-nilai tanggung jawab terhadap alam sebagai bagian dari iman. Rasulullah SAW sendiri mencontohkan hidup selaras dengan lingkungan—bahkan melarang menebang pohon tanpa kebutuhan mendesak.
Ubah Sistem, Bukan Tambal Sulam
Dari semua ini, kita bisa menyimpulkan bahwa solusi sesungguhnya terhadap banjir bukan sekadar perda, proyek betonisasi, atau penambahan anggaran. Yang kita butuhkan adalah sistem hidup yang holistik—yang meletakkan pembangunan di bawah kendali syariat, bukan pasar. Sistem Islam kaffah lah jawabannya.
Sistem sekuler yang kita anut hari ini telah terlalu lama memisahkan agama dari kebijakan publik. Akibatnya, kebijakan sering disetir kepentingan jangka pendek dan segelintir elite. Padahal, Allah SWT sudah menurunkan sistem yang sempurna, yang bukan hanya menjaga salat kita, tapi juga menjaga sungai, hutan, dan seluruh bumi.
Kembali ke Islam Kaffah
Banjir yang terus berulang seharusnya menyadarkan kita bahwa ada yang salah dalam cara kita mengelola negeri. Perda Drainase mungkin bisa membantu, tapi ia tak akan efektif jika sistem dasarnya masih keliru. Saatnya kita buka mata dan hati—bahwa hanya dengan kembali pada Islam secara kaffah, kita bisa mewujudkan negeri yang aman, bersih, dan diberkahi.
Allah SWT berfirman:
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi..." (QS. Al-A'raf: 96)
Mari kita jadikan ayat ini sebagai pemantik kesadaran. Jangan hanya benahi drainase. Mari kita benahi cara pandang, sistem, dan arah negeri ini agar sesuai dengan kehendak Allah.
Wallahu a’lam bishshawab.
Tags
Opini