Turunnya Daya Beli Masyarakat dan Maraknya Konsumerisme dalam Sistem Kapitalis?

 


Oleh. Sri Susanti

Sering kali kita melihat para pedagang yang menawarkan dagangannya dengan harga murah, namun nyatanya tidak banyak yang berminat. Sebagian hanya sekadar melihat lalu ditinggal pergi lagi kalaupun ada yang beli rumah juga tidak banyak. Padahal pedagang sudah banting harga demi agar dagangannya laku. Untung sedikit yang penting dagangannya bisa terjual. 

Inilah sebagian keluhan pedagang di berbagai daerah Indonesia. Mereka mengeluh sepi pembeli dalam beberapa hari ini. 

Seperti yang diberitakan oleh metronews (10-04-2025), momen Ramadan dan Idul Fitri 2025 biasanya menjadi waktu panen bagi para pedagang. Namun tahun ini justru menyisakan kekecewaan para pedagang di Pasar Tabah Abang mengaku mengalami penuruan omset yang signifikan dibanding tahun - tahun sebelumya. Penurunan mencapai 30 - 35 %. Pembeli lebih memilih belanja secara daring yang dianggap lebih praktis. Berdasarkan data dari Asosiasi pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) daya beli masyarakat menurun hingga mencapai 25%. Menjadi tantangan tersendiri bai pelaku usaha ritel. Terutama mereka yang masih mengandalkan sistem jual beli konvensional.

Banyak faktor yang menjadi penyebab menurunnya daya beli masyarakat di antaranya dampak dari PHK. Belum lagi harga berbagai macam kebutuhan mulai dari sandang dan pangan juga mengalami kenaikan yang tidak sedikit. Kebutuhan sekolah anak-anak juga tidak luput menjadi perhatian.

Pemasukan tidak ada kebutuhan sudah pasti sementara melamar pekerjaan belum dapat. Himpitan ekonomi membuat masyarakat memutar otaknya untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak sedikit mereka yang akhirnya berutang dengan memanfaatkan pinjam uang via daring atau yang sering kita dengar dengan sebutan paylater atau pembayaran nanti dalam berbelanja. 

Berbagai kemudahan yang ditawarkan aplikasi layanan paylater masyarakat pun tergiur menggunakannya. Dengan kemudahan itu mengakibatkan arus konsumerisme, belanja dan terus belanja , merasa bahagia karena sesuatu yang diinginkan terpenuhi. 

Banyak yang mengira paylater itu halal padahal ada titik kritisnya yaitu ada denda jika telat membayar. Inilah bahagia ala kapitalisme, kebahagiaan hanya diukur lewat materi tidak peduli itu haram sekalipun. Paylater yang berbasis ribawi yang sebenarnya juga menambah beban masyarakat selain itu pula haram jadi bak tertimpa tangga beban masyarakat semakin berat, berat membayar hutang ditambah dosa yang menjadikannya jauh dari keberkahan hidup. Beban di dunia dan beban di akhirat.

Berbeda dengan sistem Islam yang akan menutup budaya konsumerisme. Masyarakat akan diberitahu bahwa akan ada pertanggung jawaban di hadapan Allah jika kita mengkonsumsi berlebihan. Dengan dasar iman dan takwa masyarakat akan berhati hati dalam berbelanja.

Pemerintah yang menjalankan perannya salah satunya dengan membuka lapangan pekerjaan seluas- luasnya sehingga masyarakat bisa bekerja dan memenuhi kebutuhannya tanpa utang apalagi melalui paylater. Dengan standar Islam maka masyarakat akan melihat atau sadar bahwa kebahagiaan tidak dilihat dari segi materi berupa tas, sepatu dan barang- barang mewah lainnya.

Semewah apapun tas maka mempunyai posisi yang tetap yaitu di bawah ketiak bukan menjadi mahkota di atas kepala. Standar kebahagiaan yang dibangun dalam sistem islam adalah rida Illahi.

Dengan diterapkannya Islam kafah akan menjamin kesejahteraan rakyat. Karena dalam sistem ekonomi Islam memiliki mekanisme untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat individu per individu, tentu saja praktik ribawi semisal paylater akan dihapuskan dan terbebas dari yang haram.

Wallahu a'lam bishawab 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak