Oleh : Ummu Aqeela
Bank Dunia (World Bank) melaporkan 60,3% atau sekitar 171,91 juta penduduk Indonesia masuk dalam kategori miskin. Jumlah ini tercatat mengalami penurunan dari 61,8% pada 2023, dan 62,6% pada 2022 lalu.
Pengelompokan penduduk miskin yang digunakan World Bank tersebut didasari dari acuan garis kemiskinan untuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas atau upper middle income dengan standar sebesar $ 6,85 PPP (Purchasing Power Parity) per kapita per hari. Perhitungan ini berbeda dengan yang dilakukan secara resmi di Indonesia yang menggunakan garis kemiskinan nasional sebesar $ 2,15 PPP per kapita per hari.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti pun buka suara merespons laporan tersebut. Menurutnya data yang dipaparkan Bank Dunia tidak bisa dipukul rata untuk menentukan tingkat kemiskinan suatu negara. Dia menyimpulkan data yang dikeluarkan oleh Bank Dunia harus dimaknai lebih bijak, sebab tidak ada kewajiban suatu negara menerapkan perhitungan yang dilakukan oleh Bank Dunia.
"Dengan demikian mari kita lebih bijak untuk memaknai dan memahami angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, karena itu bukanlah suatu keharusan kita menerapkan. Tetapi memang itu hanya sebagai referensi saja," tegas Amalia. (Detik Finance, 30 April 2025)
Patut kita pahami bahwa, perbedaan jomplang standar kemiskinan national dan dunia penyebabnya adalah perbedaan standar pengukuran. Seseorang bisa dikategorikan tidak miskin secara nasional, tetapi masuk dalam kategori miskin ekstrem secara global Oleh karena itu butuh data yang akurat terhadap realitas kemiskinan di lapangan.
Perbedaan standar kemiskinan karena dampak dari penerapan sistem Kapitalisme dalam tata kelola ekonomi dan sosial. Dengan standar rendah, negara bisa mengklaim sukses "mengurangi kemiskinan", padahal itu hanya manipulasi angka untuk menarik investasi, nyatanya kemiskinan itu memang fakta dan butuh solusi nyata. Bahkan kemiskinan masih terus dirasakan masyarakat hingga saat ini siapa pun penguasanya dan apapun programnya.
Intinya kemiskinan ada, dan itu fakta yang yang tidak terbantah meski berbeda data, nasional maupun global. Dan patut kita pahami juga fakta kemiskinan ini tidak akan dapat dientaskan selama masih berpegang pada sistem kapitalisme, karena dalam sistem ini berlaku seperti hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang akan menang. Siapa saja yang memiliki kekuatan modal, dia lah yang akan berkuasa dan bisa menentukan kebijakan. Sementara negara hanya berperan sebagai regulator antara pemilik modal dengan masyarakat kecil. Walhasil, kondisi masyarakat kecil akan terus sulit dan terjepit.
Kemiskinan hari ini akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis, faktanya kekayaan sumber daya alam yang seharusnya dikelola oleh negara justru diserahkan, dikelola oleh pihak asing. Keuntungan hanya dirasakan oleh segelintir orang saja, sedangkan rakyat makin tambah miskin. Padahal sumber daya alam negeri ini sangat melimpah ruah. Jika dikelola dengan sebaik-baiknya oleh negara dan dikembalikan keuntungan nya untuk kemaslahatan umat maka akan bisa mensejahterakan umat.
Maka, jika kita ingin menuntaskan problem kemiskinan dinegeri ini tidak akan mampu hanya dengan kapitalisme. Sebab, kapitalisme telah terbukti gagal. Kita butuk sistem lain yang mampu menuntaskan problem kemiskinan yaitu hanya dengan sistem ekonomi Islam.
Sistem ekonomi Islam meniscayakan negara memiliki sumber pemasukan yang banyak serta mampu menjamin kesejahteraan rakyat dan menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan. Sumber pemasukan negara dalam Islam (khilafah) bersumber dari pos kharaj, jizyah, ghanimah, fa'i, zakat dan pos lainnya. Semua ini didistribusikan untuk kemaslahatan masyarakat.
Selain itu, dalam sistem ekonomi Islam telah jelas dinyatakan jenis-jenis kepemilikan yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Dalam Islam, Individu tidak dibenarkan memiliki kepemilikan umum sekalipun ia mampu. Sebab hukum syara telah jelas mengatur tentang itu.
Negara dalam Islam (khilafah) akan bertanggungjawab penuh mengelola sumber daya alam negeri ini dan mengembalikan manfaat nya hanya kepada masyarakat. Haram baginya menjual atau memberi kepada pihak swasta maupun asing. Selain itu, dalam Islam seorang pemimpin akan bertanggung jawab penuh terhadap orang yang dipimpinnya. Sebab, penguasa di dalam Islam adalah ra'in (pemelihara) dan junnah (pelindung). Apalagi, kemiskinan adalah masalah utama yang harus diselesaikan sebab berkaitan dengan kebutuhan asasiyah yaitu sandang, pangan dan papan. Semua ini tentunya akan dipenuhi secara makruf individu per individu. Dan itu hanya bisa terwujud ketika ada sebuah Daulah yang menegakkan syari'at Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah.
Wallahu a'lam bishshawab.