Oleh: Ummu Habibi
(Muslimah Peduli Generasi)
Hashtag SaveRajaAmpat viral di sosial media. Ini adalah bentuk kepedulian masyarakat terhadap keindahan dan keberagaman ekosistem laut Raja Ampat yang dikenal sebagai salah satu pusat keragaman terumbu karang dunia. Namun kondisi kepulauan di Raja Ampat saat ini malah menjadi sasaran tambang nikel. Sontak publik pun geram dan miris melihat kondisi terkini Raja Ampat yang dikeruk karena penggalian nikel tersebut.
Raja Ampat yang dikenal dunia sebagai wisata alam dengan berbagai keindahan dan kekayaan alam di dalamnya, kini sangat memprihatikan karena sudah dikeruk menjadi lahan penggalian tambang dan terancam mengalami kerusakan lingkungan alam. Diketahui, Raja Ampat terdiri lebih dari 610 pulau dan merupakan rumah bagi 75% spesies laut dunia, termasuk 540 jenis karang dan lebih dari 1.500 spesies ikan.
Bahkan, UNESCO pada September 2023 menetapkan Raja Ampat sebagai bagian dari Global Geopark. Artinya, kawasan itu dipandang UNESCO sebagai salah satu kekayaan dunia yang patut dijaga dan dilestarikan lantaran memiliki potensi luar biasa, baik di atas maupun bawah laut. Kemudian pada Oktober 2024, National Geographic memasukkan Raja Ampat ke dalam daftar 25 destinasi terbaik dunia untuk 2025.
Sejumlah aktivis dari Greenpeace bersama warga Raja Ampat menyuarakan penolakan terhadap aktivitas tambang nikel yang mulai masuk ke wilayah mereka. Greenpeace bahkan menyatakan Raja Ampat kini berada di ujung tanduk karena kawasan dengan kekayaan hayati luar biasa ini terancam rusak demi ambisi hilirisasi nikel.
Komisi XII DPR pun melontarkan kritik keras terhadap Kementerian ESDM yang dinilai tebang pilih dalam menangani aktivitas tambang nikel yang diduga merusak lingkungan di kawasan Raja Ampat. Wakil Ketua Komisi XII DPR, Bambang Hariyadi menyoroti tidak adanya tindakan terhadap tiga perusahaan swasta yang diduga menjadi perusak utama kawasan konservasi tersebut. Ketiga perusahaan yang dimaksud adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP).
Kawasan ini jelas bukan tempat yang bisa dikompromikan untuk kegiatan pertambangan. Dalam aspek legal terkait perlindungan kawasan tersebut sudah tertuang dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara tegas menyebut bahwa pemanfaatan wilayah seperti Raja Ampat hanya diperbolehkan untuk pariwisata, konservasi, budi daya laut, dan penelitian. Tidak ada satu pun pasal dalam UU tersebut yang melegalkan eksplorasi atau penambangan mineral di kawasan itu. Artinya, setiap bentuk tambang di wilayah tersebut adalah pelanggaran hukum dan ekologi.
Sayangnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menanggapi fakta miris Raja Ampat ini dengan santai. Ia menyatakan bahwa Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat telah terbit sebelum ia menjadi menteri. Meski ia telah memutuskan untuk menghentikan sementara kegiatan operasional tambang nikel di Raja Ampat, tetapi langkah itu lebih tampak sebagai upaya untuk sekadar meredam suara protes masyarakat tanpa melakukan peninjauan secara menyeluruh.
Menanggapi hal ini, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik mengatakan, penerbitan IUP itu melanggar UU sehingga pemerintah semestinya mencabutnya. Setidaknya ada lima pemegang IUP di Kepulauan Raja Ampat. Dari kelimanya, tiga perusahaan telah melakukan eksploitasi pertambangan dan satu lagi masih berupa eksplorasi. Sejumlah IUP itu rata-rata dikeluarkan oleh Kementerian ESDM sekitar 2013 ke atas dengan lokasi di empat pulau di Raja Ampat.
Jika kita mencermati semua itu, ambisi pemerintah terkait tambang nikel jelas makin besar. Bahkan semua itu harus dibayar dengan eksploitasi SDA secara ugal-ugalan.
Warga Pulau Gag (salah satu lokasi tambang nikel di Raja Ampat) menyebut bahwa air di tempat tinggalnya menjadi keruh diduga karena limbah tambang nikel ketika hujan. Kondisi semacam ini tidak hanya terjadi di Pulau Gag. Di Sulawesi dan Maluku sebagai sesama lokasi tambang nikel, juga mengalami hal yang sama. Warga lokal terdampak air keruh, lingkungan alam rusak, rawan banjir bandang, dan sebagainya.
Ini masih belum bicara dampak tambang mineral lainnya. Kerusakan alam akibat tambang emas Freeport di Papua sejatinya tidak terbantahkan, juga dampak eksplorasi tambang emas oleh PT Newmont Nusa Tenggara (sekarang PT Amman Mineral Nusa Tenggara) di Pulau Sumbawa, NTB. Belum lagi bekas-bekas galian tambang timah di Pulau Bangka dan Belitung yang beberapa waktu lalu terungkap melalui kasus korupsi bombastis Harvey Moeis.
Semua itu harus membuka mata kita bahwa sistem kapitalisme yang mereka puja memang nyata sistem yang rusak dan merusak. Dampak dari kapitalisme adalah sistemis, tidak menimpa satu, dua, atau sekelompok orang saja. Namun, tiap hari para penguasa kapitalis senantiasa menjadi penikmat cuan kapitalisasi, padahal tambang itu sejatinya aset milik rakyat.
Jika kita mencermati kasus Raja Ampat ini, ternyata tidak hanya nikel yang dieksploitasi, tetapi juga pulau-pulau di sana. Ruang hidup warga lokal jadi terampas. Padahal, keberadaan nikel sebagai SDA tambang maupun pulau-pulau tersebut sejatinya adalah harta kepemilikan umum yang hasilnya harus dikembalikan kepada masyarakat luas.
Semua gambaran ini sangat berbeda dengan penguasa di dalam sistem Islam dan di bawah naungan negara Islam (Khilafah). Kasus Raja Ampat terkait erat dengan penjelasan Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah di dalam kitab Al-Amwalu fi Daulati al-Khilafati, bahwa laut, sungai, danau, teluk, pulau, selat, kanal, lapangan umum, dan masjid-masjid adalah milik umum bagi tiap anggota masyarakat. Harta kepemilikan umum ini menurut asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya.
Untuk itu kepemilikannya tidak boleh diserahkan kepada individu/swasta karena seseorang tidak boleh memiliki sesuatu secara khusus yang merupakan bagian dari kepemilikan umum. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR Abu Daud).
Terkait dengan tambang nikel di Raja Ampat, yang diketahui baru di empat pulau menunjukkan bahwa keberadaannya melimpah. Status tambang yang demikian ini sudah jelas bahwa tambang tersebut adalah harta kepemilikan umum, tidak boleh dimiliki oleh pihak-pihak tertentu saja. Jadi, keberadaannya harus dibiarkan sebagai milik umum bagi seluruh kaum muslim, dan mereka berserikat atas harta tersebut. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Daud).
Selanjutnya, negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, meleburnya, menjualnya atas nama kaum muslim, dan menyimpan hasil penjualannya di baitulmal kaum muslim. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara barang tambang terbuka (terdapat di permukaan bumi) dan yang ada di dalam perut bumi. Khilafah akan membiayai berbagai kebutuhan masyarakat dengan pemasukan baitulmal dari hasil pengelolaan harta kepemilikan umum ini.
Demikianlah gambaran kebijakan Khilafah dalam mengelola tambang sebagai bagian dari aset rakyat/kepemilikan milik umum. Eksplorasi SDA berdasarkan dalil-dalil syarak mustahil terjadi di dalam sistem kapitalisme, melainkan Khilafah sebagai sistem pelaksana syariat Islam kafah yang mampu menerapkannya. Wallahualam bissawab[].
Tags
Opini