Oleh,
Nita Susanti, S.Hum
(Aktivis Muslimah)
Raja Ampat sedang menjadi sorotan. Jika sebelumnya kita mengenal Raja Ampat dengan keindahan alamnya, namun kini berbeda. Publik dikejutkan dengan adanya isu penambangan nikel yang sedang terjadi di sana. Hal ini bermula ketika sejumlah aktivis lingkungan mulai menyuarakan kekhawatirannya akan dampak yang ditimbulkan dari penambangan tersebut. Sungguh disayangkan, tempat yang memiliki keanekaragaman hayati yang menakjubkan ini terancam oleh adanya tambang nikel. Data dari Greenpeace menunjukkan, ada 500 hektare hutan di tiga pulau kecil yang dibabat. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, ketiga pulau ini seharusnya dilindungi (Republika.co.id, 5/6/25).
Tak heran, jika tagar #saverajaampat ramai berseliweran di berbagai platform dunia maya karena kerusakan alam yang ditimbulkan amatlah besar. Pemerintah dituntut untuk bertanggungjawab. Bukan hanya tentang kerusakan yang ditimbulkan, namun juga pelanggaran yang telah dilakukan oleh pihak terkait. Aktivitas penambangan yang dilakukan oleh beberapa PT ini sudah mendapat izin sejak tahun 2013 silam. Setelah berita ini ramai diperbincangkan dan memantik kritikan publik, akhirnya pemerintah mengambil tindakan dengan mencabut izin penambangan nikel yang terjadi di sana (tempo.co, 10/6/2025).
Apabila kita cermati, pengrusakan alam yang terjadi di Indonesia tidak hanya terjadi di Raja Ampat. Kasus serupa juga terjadi di Papua. Tambang emas dilakukan oleh Freeport. Indonesia dengan segala kekayaan sumber daya alamnya rentan mengalami eksploitasi yang menimbulkan kerusakan. Hasil tambang yang semestinya menjadi aset milik rakyat, justru hanya dinikmati oleh segelintir orang. Dalam sistem kapitalisme saat ini, peran Negara hanyalah sebagai fasilitator yang memberi ruang bagi Perusahaan untuk melegalkan Undang-Undang.
Berbeda halnya dengan sistem Islam. Islam memandang bahwa posisi penguasa adalah sebagai pengurus urusan rakyatnya. Begitu pun soal kepemilikan. Islam telah menetapkan bahwa sumber daya energi dan mineral yang jumlahnya melimpah tidak boleh dimiliki oleh individu. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah hadits, dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika Abyad bin Hamal ra. telah pergi, ada seorang lelaki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).
Berdasarkan hadits ini, posisi Raja Ampat yang telah diketahui memiliki hasil tambang yang melimpah, maka status tambang ini sudah semestinya menjadi milik umum, bukan individu. Namun bukan berarti Islam melarang adanya pertambangan. Hanya saja, Islam mengatur agar pemanfaatan terhadap alam semesta ini tidak menyebabkan kerusakan. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS Al A’raf: 56).
Dalam hal ini, Negara yang wajib mengelola dan menjualnya atas nama kaum Muslim. Kemudian, hasil penjualannya disimpan di baitulmal kaum Muslim. Nantinya, harta dari hasil pengelolaan ini akan digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan masyarakat. Wallahu ‘alam.
Tags
Opini