Pengangguran Tinggi, Jangan Anggap Remeh!



Oleh : Umi Zadit Zareen 



Dana Moneter Internasional (IMF) pada April 2024 mencatat tingkat pengangguran di Indonesia sebesar 5,2%. Angka tersebut tertinggi dibandingkan enam negara lain di Asia Tenggara. IMF sendiri mendefinisikan tingkat pengangguran sebagai persentase angkatan kerja yang sedang mencari pekerjaan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran di Indonesia meningkat 1,11 persen secara tahunan pada Februari 2025. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, jumlah pengangguran mencapai 7,28 juta orang per Februari 2025, atau meningkat 83.450 orang dibandingkan Februari 2024. Jumlah tersebut merupakan 4,76 persen dari total jumlah angkatan kerja di pasar tenaga kerja Indonesia yang sebanyak 153,05 juta orang. (Kompas.com5/5/2025)

Berbagai jurus pemerintah keluarkan untuk mengatasi masalah pengangguran selain Job Fair. Salah satunya adalah penghapusan batas usia maksimal untuk bekerja. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/V/2025 tentang Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli (28-5-2025) menyatakan SE ini diterbitkan untuk mempertegas komitmen pemberi kerja terhadap prinsip nondiskriminasi dan pedoman jelas agar rekrutmen kerja dilakukan objektif dan adil.
Pada SE tersebut dijelaskan bahwa Kemenaker berupaya mewujudkan prinsip nondiskriminasi dalam proses rekrutmen kerja. Ada empat poin utama yang dimuat dalam SE tersebut, salah satunya tentang persyaratan usia dalam proses rekrutmen tenaga kerja.

Menanggapi SE ini, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani megatakan, batasan usia yang ditetapkan perusahaan dalam lowongan kerja tidak dimaksudkan untuk mendiskriminasi pelamar. Namun, karena jumlah pelamar yang membeludak, persyaratan usia kerap digunakan sebagai alat penyaringan awal untuk menyesuaikan kebutuhan spesifik pekerjaan. Ia mengatakan, yang seharusnya menjadi fokus bersama adalah menciptakan lebih banyak lapangan kerja agar daya serap pasar tenaga kerja meningkat secara signifikan. Menurutnya, ketika jumlah lowongan kerja meningkat dan kualitas ekonomi membaik, otomatis akan membuka akses kerja bagi seluruh kelompok usia.

Tingginya angka pengangguran ini adalah sinyal gagalnya negara menciptakan lapangan kerja. Untuk itu, negara semestinya berupaya mencegah bertambahnya angka pengangguran. Lebih dari itu, tingginya tingkat pengangguran kerap menjadi alat ukur untuk memetakan tingkat kemiskinan rakyat. Untuk memutus mata rantai tersebut, setiap negara tentu memiliki strateginya masing-masing. Bagaimana konsep Islam memutus mata rantai pengangguran?

Pengangguran tercipta ketika ada kesenjangan antara jumlah penawaran pekerjaan (lapangan kerja) dengan permintaan (pelamar). Kerap kita temui proses rekrutmen yang menawarkan satu atau dua posisi, tetapi pelamarnya mencapai ratusan orang. 

Besarnya angka pengangguran ini menunjukkan lebarnya jurang ketimpangan antara kebutuhan pekerjaan dengan lapangan kerja yang tersedia. Akibatnya, generasi muda yang merupakan baru ingin memasuki dunia kerja kesulitan mendapatkan pekerjaan meskipun tingkat pendidikan dan usia mereka memenuhi kualifikasi lowongan kerja. Selain itu, marak terjadi PHK massal sehingga banyak kalangan dewasa yang kehilangan pekerjaan.

Solusi atas masalah ini adalah meningkatkan jumlah lapangan kerja dan pihak yang seharusnya bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja adalah negara (pemerintah). Namun sungguh sayang, negara dalam sistem sekuler kapitalisme tidak mengurusi rakyatnya sebagaimana konsep ri’ayah (pengurusan rakyat) berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw. 
“Imam adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim).

Negara (penguasa) dalam kapitalisme memosisikan dirinya sebagai regulator yang hanya berperan mengadakan job fair, memberikan informasi lapangan kerja, menghubungkan perusahaan dengan pelamar, dan sejenisnya. Sedangkan tanggung jawab menyediakan lapangan pekerjaan diserahkan pada swasta.

Kebijakan seperti ini justru mengakibatkan terjadinya PHK massal, salah satunya adalah pembukaan keran impor lebar-lebar sehingga industri manufaktur dalam negeri berguguran. Negara sibuk menarik investasi ke dalam negeri, tetapi ternyata tidak terjadi penyerapan tenaga kerja secara masif. Aturan yang pemerintah  justru membuat pekerja berada dalam posisi lemah sehingga mudah di-PHK, misalnya UU Cipta Kerja. Kemudahan investasi asing yang diberikan oleh UU Cipta Kerja yang digadang-gadang dapat membuka banyak lapangan kerja nyatanya jauh panggang dari api. Apalagi negara juga gagal mencerdaskan bangsa sehingga kualitas lulusan sekolah dan kampus tidak memenuhi kualifikasi yang industri butuhkan. Walhasil, lulusan sekolah/kampus kesulitan memperoleh pekerjaan.

Inilah yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Sistem ini menyerahkan nasib pekerja kepada swasta. Tidak ada tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Rakyat harus memutar otak sendiri untuk memperoleh pekerjaan. Banyak di antara mereka yang akhirnya menempuh jalan menjadi pengemudi ojek online atau pekerja informal dengan penghasilan minim, semata demi bertahan hidup.

Sistem kapitalisme juga menyerahkan pengelolaan SDA yang terkategori kepemilikan umum pada korporasi swasta, bahkan asing. Hal ini berdampak pada minimnya penyerapan tenaga kerja. Negara justru memudahkan pekerja asing untuk bekerja di Indonesia dan menempati posisi-posisi penting di perusahaan. Tidak hanya kalangan profesional, pekerja asing juga mulai menempati lapangan pekerjaan buruh kasar. Ini terjadi sebagai bagian dari kesepakatan investasi asing.

Oleh karenanya, selama umat Islam masih menerapkan sistem kapitalisme, masalah pengangguran tidak akan bisa terhapus, bahkan makin marak. Ini sungguh berbeda dengan ri’ayah (pengurusan) oleh Daulah Khilafah Islamiah terhadap rakyatnya.

Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. menyelesaikan masalah pengangguran dengan menjadikan laki-laki tersebut memperoleh pekerjaan. Ini pula yang dilakukan oleh para khalifah penerus Rasulullah saw., mereka turun tangan memastikan setiap laki-laki memiliki pekerjaan yang cukup untuk menafkahi diri dan keluarganya. Khilafah tidak menyerahkan urusan lapangan pekerjaan ini pada swasta, melainkan menanganinya secara langsung.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan Khilafah untuk menjamin pekerjaan bagi rakyat adalah sebagai berikut.
1. Menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, termasuk penyediaan lapangan pekerjaan.
2. Melakukan revolusi industri pada berbagai bidang sehingga membuka lapangan pekerjaan yang luas.
3. Mengelola industri yang mengolah SDA yang terkategori kepemilikan umum seperti pertambangan sehingga menyerap banyak tenaga kerja.
4. Memberi bantuan modal, alat, ilmu manajemen, dan pendampingan bagi rakyat yang ingin berwirausaha.
5. Memberikan tanah mati dan bantuan alat produksi pertanian bagi rakyat yang hendak bertani/berkebun.
6. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif sehingga mencegah terjadinya PHK massal. Hal ini misalnya dengan menghilangkan praktik pungli, meniadakan pungutan pajak bagi pengusaha, meminimalkan impor, memaksimalkan penggunaan produk dalam negeri, dll.
7. Menjamin pemenuhan kebutuhan dasar komunal, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan sehingga perusahaan dan pekerja tidak terbebani untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
8. Menerapkan sistem pendidikan Islam sehingga mampu menghasilkan SDM berkualitas yang memiliki skill tinggi hingga level mahir dan bahkan pakar di bidangnya sehingga sangat bermanfaat bagi industri, pertanian, kelautan, maupun bidang lainnya.

Dengan langkah-langkah ini, kemandirian ekonomi suatu negara adalah kunci untuk mengurai problem masyarakat secara komprehensif termasuk masalah pengangguran. Untuk itu, suatu negara membutuhkan sudut pandang sistemis untuk mengurai masalah ini.

Sebagai catatan, peningkatan angka pengangguran tidak terjadi semata karena faktor produksi atau kondisi dunia yang terus berevolusi melampaui stagnasi sistem konvensional. Lebih dari itu, ada sistem tata kelola dengan paradigma kapitalistik yang pro-korporasi sehingga membuat tingkat ekonomi rakyat makin terpuruk.

Untuk itu, sudah semestinya negara kita beralih dari sistem kapitalisme menuju tegaknya sistem Islam. Islam jelas memiliki konsep sebagai satu-satunya solusi yang mampu mengurai benang kusut masalah pengangguran ini. 

Wallahualam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak