Pendidikan Generasi adalah Hak Dasar Syar’i dan Tanggung Jawab Negara




Oleh Siri Puadah



KEMENTERIAN Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) akan membangun sekolah menengah atas (SMA) unggulan khusus untuk siswa yang memiliki prestasi di atas rata-rata berdasarkan penilaian tertentu. Program pendidikan yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto itu diberi nama Sekolah Unggulan Garuda.

Wakil Menteri Diktisaintek Stella Crishtie mengatakan sekolah ini bertujuan mempercepat peningkatan pendidikan berbasis sains dan teknologi di Indonesia. Nantinya, kata dia, pemerintah akan membiayai sebanyak 80 persen dari total peserta didik, yakni 160 siswa per angkatan. Sementara 20 persen pelajar lainnya akan dikenakan biaya.

Stella belum mengungkap nominal biaya yang akan dikenakan pada siswa dengan biaya mandiri. Namun dia menyebutkan dapat dipastikan skema ini dipilih dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan efisiensi.

“Jadi diharapkan semua bisa hidup berdampingan antara siswa dari ekonomi bawah dan ekonomi atas. Karena akan tidak efektif siswa dengan ekonomi atas ditanggung oleh negara,” kata Stella saat berdiskusi dengan awak media di kantornya, Jakarta, Sabtu, 17 Mei 2025. (https://www.tempo)

Keterbatasan akses pendidikan sudah menjadi masalah menahun di negeri ini. Ini menunjukkan bahwa banyak penduduk yang belum dapat melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi karna permasalahan ekonomi. Hingga saat ini pelayan pendidikan gratis di Indonesia belum merata, apalagi ke daerah pelosok di Indonesia.

Untuk memberikan pelayanan pendidikan yang merata, pemerintah memang menjalankan program pendukung, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah, perluasan akses perguruan tinggi negeri, bantuan sosial, penguatan pendidikan vokasi, sekolah gratis, sekolah rakyat, dan sebagainya. Meski demikian, upaya tersebut belum bisa mengatasi kesenjangan dan ketimpangan pendidikan di negeri ini.

Keterbatasan akses pendidikan karena kondisi ekonomi. Tidak bisa dimungkiri, kemiskinan merupakan salah satu faktor penghalang bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan. Ada yang putus sekolah karena tidak sanggup menanggung biaya pendidikan yang kian mahal. Ada pula yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya karena ingin fokus membantu orang tua memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kalaupun bersekolah di sekolah negeri yang gratis, tidak ada jaminan tidak ada biaya tambahan lain yang harus dipenuhi para peserta didik.

Pun dalam keterbatasan akses pendidikan karena infrastruktur publik yang tidak memadai. Kondisi ini biasanya dialami sebagian besar masyarakat yang berada di wilayah terpencil, terluar, dan tertinggal. Infrastruktur publik yang serba terbatas menjadikan masyarakat kesulitan mengakses fasilitas pendidikan yang jauh dari rumah mereka. Sudah banyak kita saksikan kisah-kisah miris anak-anak pedalaman atau terpencil yang harus menyeberangi jembatan tali dan mengarungi derasnya aliran sungai hanya untuk bersekolah. Kadang kala mereka juga harus berjibaku dengan jalan-jalan rusak dan kendaraan yang tidak layak agar bisa sekolah. Keadaan dan medan yang sulit inilah yang kerap menjadi alasan anak-anak tidak lagi melanjutkan sekolah.

Kemudian , keterbatasan akses pendidikan karena sarana dan fasilitas pendidikan yang tidak layak. Banyaknya bangunan sekolah dasar mengalami kerusakan. Kondisi sekolah rusak, atap berlubang, serta ruang kelas dengan meja dan kursi yang jauh dari kata layak kerap mewarnai berita pendidikan dari tahun ke tahun. Ini baru bangunan fisik dasar sekolah, belum lagi kita bicara fasilitas penunjang lainnya seperti laboratorium, internet, ruang komputer, dan lainnya.

Ketimpangan akses pendidikan ini memunculkan kesenjangan nyata. Sebagai contoh, jika ingin mendapat fasilitas bagus dan memadai, harus bersekolah di sekolah yang berbiaya mahal. Namun, jika ingin mendapat akses dan layanan sekolah gratis, maka harus siap menerima fasilitas seadanya.

Ini berbanding terbalik dengan sistem pendidikan Islam. Tidak ada kesenjangan dan ketimpangan pendidikan selama sistem Islam diterapkan.

Pendidikan adalah hak dasar setiap anak. Negara harus memastikan bahwa hak ini benar-benar terpenuhi di seluruh penjuru negeri. Sementara itu, infrastruktur publik dan fasilitas penunjang pendidikan adalah kewajiban negara sebagai penyelenggara sehingga negara juga memastikan bahwa di setiap wilayah negeri terdapat sarana dan prasarana yang memadai agar hak pendidikan setiap anak dapat terpenuhi dengan baik.

Seluruh pembiayaan pendidikan di negara Khilafah diambil dari baitulmal, yakni dari pos fai dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah. Seluruh pemasukan negara Khilafah, baik yang dimasukkan di dalam pos fai dan kharaj maupun pos milkiyyah ‘amah, boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi, negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat.

Negara pun menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya, di samping gedung-gedung sekolah dan universitas untuk memberi kesempatan bagi rakyat yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang pengetahuan, seperti fikih, usul fikih, hadis, dan tafsir, termasuk di bidang ilmu murni, kedokteran, teknik, kimia, dan penemuan baru.

Demikianlah, Khilafah menjalankan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pendidikan dengan melakukan apa saja yang dapat mewujudkan terpenuhinya hak pendidikan setiap anak, kenyamanan mereka selama bersekolah, dan kesejahteraan para tenaga pendidik. Semua itu terpenuhi dan terjamin agar sistem pendidikan Islam benar-benar berjalan secara optimal dalam menciptakan generasi bertakwa, cerdas, dan bermanfaat ilmunya bagi kemaslahatan hidup manusia. 

Pendidikan merupakan perkara sangat vital, memiliki peran strategis yang tidak bisa diukur hanya dari dimensi keuntungan materi. Oleh karenanya, negara akan menyelenggarakan pendidikan dengan segenap kemampuan. Berapa pun biayanya akan diupayakan pemenuhannya oleh negara.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak