Penambangan Nikel di Raja Ampat, Pengelolaan SDA sesuai Syariat



Annasya Ursila




Penambangan nikel di Raja Ampat kembali menjadi sorotan setelah terungkap adanya pelanggaran serius terhadap aturan lingkungan hidup. Aktivitas tambang yang mestinya tunduk pada aturan hukum justru dilakukan di wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati, yang bahkan diakui dunia internasional sebagai kawasan konservasi penting. Pemerintah akhirnya memutuskan menghentikan sementara operasi tambang akibat tekanan publik yang masif. Namun, fakta bahwa penambangan ini bisa berjalan meski melanggar undang-undang menunjukkan betapa sistem kapitalisme memberi kuasa lebih kepada pengusaha dibanding negara, bahkan ketika itu mengorbankan lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar. Inilah wajah asli dari sistem yang berorientasi pada keuntungan, bukan kelestarian. Dalam Islam, sumber daya alam seperti tambang adalah milik umum, yang wajib dikelola oleh negara untuk kesejahteraan seluruh rakyat, bukan segelintir pemilik modal. 

Kepentingan investasi sering kali lebih diutamakan ketimbang keselamatan lingkungan dan hak hidup masyarakat adat. Sistem kapitalisme tidak menjadikan keberlanjutan sebagai prinsip dasar, melainkan mengejar pertumbuhan ekonomi dan keuntungan segelintir elite meski harus mengorbankan ekosistem yang menjadi penopang kehidupan jutaan makhluk, termasuk manusia.

Berbeda dengan itu, Islam memiliki prinsip yang tegas dan menyeluruh dalam mengatur pengelolaan sumber daya alam. Dalam pandangan Islam, kekayaan alam seperti tambang nikel adalah milik umum (milkiyyah ’ammah) yang tidak boleh dimiliki atau dikuasai individu ataupun korporasi. Negara dalam sistem Islam wajib mengelola kekayaan ini dan mengembalikan manfaatnya secara langsung kepada rakyat. Tidak hanya itu, Islam juga memandang alam sebagai amanah yang harus dijaga, bukan dieksploitasi semaunya. Prinsip menjaga keberlanjutan (hifz al-bi’ah) menjadi bagian dari tanggung jawab syariat. Konsep “hima”-yakni kawasan yang dikhususkan untuk dilindungi dari kerusakan atau eksploitasi- adalah bukti bahwa Islam jauh lebih progresif dalam menjaga keseimbangan ekologi. Pemimpin dalam sistem Khilafah tidak hanya berperan sebagai pengatur ekonomi, tetapi juga sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat) dan junnah (pelindung) yang akan bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan manusia dan kelestarian ciptaan Allah SWT.

Dengan pengelolaan yang berbasis pada syariat, negara tidak akan sembarangan memberikan izin eksplorasi, apalagi di wilayah-wilayah yang menjadi penyangga ekosistem dan kehidupan. Maka, penyelesaian persoalan seperti penambangan nikel yang merusak Raja Ampat tidak cukup hanya dengan pemberhentian sementara atau sanksi administratif. Yang dibutuhkan adalah perubahan sistemik—yakni penerapan sistem Islam secara kaffah, yang mampu memastikan bahwa sumber daya alam dikelola dengan adil, bijak, dan berorientasi pada keberkahan serta kelestarian, bukan semata keuntungan material.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak