Krisdianti Nurayu Wulandari
Tanah Palestina, hingga hari ini masih menjadi saksi bisu atas kezaliman yang terus terjadi tanpa henti. Penjajahan oleh Zionis I5ra3l bukan hanya berupa perampasan wilayah, tetapi juga pembantaian massal yang menjangkau setiap usia dan jenis kelamin — termasuk bayi-bayi tak berdosa yang bahkan belum mengenal arti kehidupan. Mereka menjadi target karena satu hal: mereka adalah keturunan Muslim Palestina. Ironisnya, di tengah tragedi ini, dunia justru memilih bungkam. Negara-negara besar hanya menonton, seolah kemanusiaan telah mati dan tertimbun oleh kepentingan geopolitik serta obsesi kekuasaan.
Bahkan di hari yang suci seperti Iduladha, tidak ada jeda dalam kekejaman yang dilakukan penjajah. Serangan terus dilancarkan, seperti yang dilaporkan dalam berbagai media internasional, termasuk serangan brutal yang menewaskan 17 warga Palestina di Gaza. Lebih dari itu, blokade terhadap akses bantuan pangan menambah penderitaan rakyat Palestina. Kelaparan dijadikan senjata mematikan, membunuh generasi secara perlahan, tanpa darah, tapi sangat menyakitkan.
Yang lebih menyayat hati adalah sikap pasif para pemimpin dunia, termasuk penguasa negeri-negeri Muslim. Mereka hanya sibuk beretorika, mengutuk tanpa aksi, menyuarakan simpati tanpa mengirimkan satu pun pasukan pembebas. Padahal, naluri kemanusiaan semestinya membuat siapa pun tergerak ketika melihat bayi-bayi yang meregang nyawa karena kelaparan, para ibu yang merintih dalam tangis, dan para pemuda Palestina yang gugur demi mempertahankan tanah mereka. Jika nurani kemanusiaan sudah tak mampu lagi menggerakkan hati, itu menjadi tanda bahwa nilai dasar kemanusiaan telah lenyap.
Fenomena ini bukan tanpa sebab. Dunia hari ini tunduk dalam sistem kapitalisme yang membentuk manusia menjadi makhluk individualis dan materialistis. Nasionalisme — warisan pemikiran Barat — telah memecah umat Islam ke dalam sekat-sekat negara yang hanya peduli pada batas wilayah, bukan pada nasib saudara seiman. Akibatnya, meski seruan jihad menggema dari umat, tidak ada satu pun negara yang menyambutnya. Padahal, jihad pembebasan hanya dapat terwujud melalui komando dari institusi negara. Dan sayangnya, negara-negara yang ada hari ini justru banyak bersekutu dengan penjajah dan tunduk pada tekanan asing.
Dalam situasi seperti ini, hanya Khilafah Islamiyah yang mampu mengembalikan fungsi negara sebagai pelindung umat. Khilafah bukan sekadar konsep sejarah, tetapi sistem pemerintahan yang didasarkan pada wahyu Allah dan bertanggung jawab sepenuhnya atas nasib umat Islam di seluruh dunia. Hanya Khilafah yang memiliki legitimasi syar'i untuk menyerukan jihad dan mengerahkan kekuatan militer guna membebaskan Palestina dan negeri-negeri Muslim lainnya yang tertindas.
Maka, perjuangan untuk menegakkan Khilafah adalah keniscayaan. Ini bukan perjuangan sekejap, melainkan proyek panjang yang membutuhkan kepemimpinan dakwah ideologis yang konsisten dan istiqamah dalam menyuarakan kebenaran. Jamaah dakwah ideologis harus menjadi pelopor kesadaran umat, mengajak mereka kembali pada Islam yang kaffah, serta menunjukkan jalan keluar dari dominasi kapitalisme sekuler yang merusak. Sudah saatnya umat merespon seruan ini dan bersatu dalam perjuangan menjemput pertolongan Allah. Karena hanya dengan sistem Islam-lah, kehormatan, darah, dan tanah umat dapat dibela dan dilindungi. Wallaahu A’lam
Tags
Opini
