Kisruh Penyelenggaraan Haji, di Mana Tanggung Jawab Negara?

 
Oleh dr. Mariatul Kiptiah



Pasukan keamanan haji Arab Saudi menangkap 49 orang, terdiri dari 18 warga lokal dan 31 warga asing termasuk warga Indonesia (WNI), karena mengangkut 197 jemaah tanpa izin resmi untuk menunaikan ibadah haji. Menurut laporan Saudi Press Agency (SPA) pada Jumat (6/6/2025), penangkapan dilakukan pada sejumlah pintu masuk di Kota Makkah. (Makkah, berita satu.com).
Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi telah mengeluarkan keputusan administratif melalui komite musiman haji terhadap para pelaku transportasi ilegal, kaki tangan mereka, serta jemaah haji tanpa izin.
Sanksi yang diberlakukan meliputi hukuman penjara, denda maksimal hingga 100.000 riyal Saudi (sekitar Rp 425 juta, pengumuman identitas pelanggar di depan publik, deportasi bagi penduduk asing, hingga larangan masuk kembali ke Arab Saudi selama 10 tahun.

Wakil Ketua DPR RI, mengungkapkan ada sejumlah persoalan dalam pelaksanaan haji. Beberapa di antaranya jemaah haji yang diusir dari tempat istirahat pada malam hari, jemaah yang tertinggal rombongan, hingga keterlambatan distribusi konsumsi. “Masalahnya memang kecil-kecil, tapi kalau dikumpulkan jadi sangat banyak,” ujar Adies.Adies juga mengkritik kesiapan dan distribusi petugas haji yang tidak merata. Ia mengatakan petugas haji justru tidak ada di beberapa titik yang padat. “Jemaah dibiarkan begitu saja,” kata Adies. Ia menegaskan Kementerian Agama perlu mengevaluasi hal tersebut.

Sementara itu, anggota Timwas Haji lainnya, Abdul Fikri Faqih, juga menyoroti sejumlah persoalan dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Menurut Fikri, berbagai masalah yang terjadi sejak awal kedatangan jemaah kembali terulang di fase puncak haji. “Permasalahan sejak berangkat itu kan jemaah terpisah-pisah, antara suami istri, pembimbing dan jemaahnya. Setelah direkonsiliasi, sampai sini (Arab Saudi) bercerai-berai lagi,” ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera atau PKS ini.
Fikri mengatakan salah satu masalah yang fatal menjelang puncak haji adalah soal transportasi jemaah menuju Arafah. Dia menyebut banyak jemaah yang sudah mengenakan kain ihram sejak Rabu pagi, 4 Juni 2025 waktu Arab Saudi, harus menunggu tanpa kepastian hingga Kamis pagi untuk bisa berangkat.

“Mereka siap-siap pakai ihram itu sejak Rabu pagi. Yang sore tidak terangkut, malam tidak terangkut, sampai Kamis pagi ada yang belum terangkut. Alhamdulillah, Kamis siang semua sudah bisa tiba di Arafah,” kata dia.
Keterlambatan ini, Fikri berujar, disebabkan oleh armada transportasi dari pihak syarikah atau perusahaan layanan haji Arab Saudi yang tidak memadai.
Adapun di Arafah, jemaah haji berhadapan dengan kondisi tenda yang sudah penuh namun terus dipaksakan untuk diisi. Fikri menyebut Kementerian Agama melalui Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama Hilman Latief telah mengakui adanya masalah kelebihan kapasitas ini.

“Diakui juga oleh Dirjen PHU, ini memang harus dievaluasi syarikah-nya. Ternyata ada yang memaksakan, tenda sudah penuh, sudah overload, tetap saja ditambah-tambah lagi,” kata Fikri.
Semua temuan tim pengawas ini, Fikri mengatakan, akan menjadi bahan evaluasi dan masukan utama untuk revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Kisruh penyelenggaraan haji tahun ini tentu tak dapat dilepaskan dari tanggung jawab negara dalam mengurus ibadah. Ada banyak hal yang tidak diurus dengan baik sehingga muncul banyak kekacauan terutama saat Armuzna
Sejak tahun 2024 memang penyelenggaraan haji bekerjasama dengan multi sarikah, dan penyelenggara tidak bercermin dari kekisruhan tahun lalu. Dampak bagi manajemen layanan, adalah kacaunya penyelenggaraan haji, seperti toilet tidak cukup, keterlambatan transportasi, tenda yang overkapasitas, keterlambatan administrasi misal perubahan jadwal kloter, terpisahnya jamaah suami dan istri, terpisahnya jamaah dengan pembimbing haji. Masalah masalah teknis tersebut berdampak pada kekhusukan dalam menjalankan ibadah haji.
Berikut adalah bekal-bekal bagi jamaah haji yang harus didapatkan demi kelancaran menjalankan ibadah:
1. Ilmu yang cukup, tentang ibadah haji
2. Administrasi yang mudah
3. Akomodasi yang nyaman, seperti pemondokan, tenda,
4. Transportasi yang mudah
5. Konsumsi yang layak dan teratur
6. Layanan kesehatan yang memadai
Berkaitan dengan poin no 2 sampai nomor 6, terkait dengan pengurusan negara dalam penyelenggaraan haji.

Semua kekisruhan tadi berpangkal dari kapitalisasi ibadah haji dan lepasnya tanggungjawab negara atas hal ini, dimana penyelenggara bekerjasama dengan sirkah sirkah yang memberikan harga murah namun tidak optimal dalam pelayanan, sehingga penyelenggara haji dapat mengambil keuntungan dari sana, namun mempertaruhkan dalam kelancaran haji para jamaáh.

Penyelengaraan ibadah haji sudah seharusnya memudahkan jamaah dalam beribadah, juga dalam penyediaan fasilitas selama menjalankan ibadah haji seperti penyediaan penginapan, penyediaan tenda dan berbagai kebutuhan di Armuzna, layanan transportasi , kebutuhan konsumsi, dsb. Semua ini adalah salah satu tanggungjawab negara karena dalam Islam penguasa adalah raain yang wajib mengurus semua urusan rakyat dengan baik termasuk dalam ibadah haji.

Negara akan menyiapkan mekanisme terbaik, birokrasi terbaik, dan layanan premium bagi para tamu Allah. Seandainya engurusan diserahkan kepada Haramain pun, itu dalam pengarahan dan pemngaturan negara islam, yaitu Khilafah, yang menaungi semua wilayah negeri muslim.
Layanan paripurna ini memang hanya mungkin terjadi jika sistem keuangan negara kuat. Dan ini dimungkinkan ketika negara Khilafah menerapkan sistem ekonomi, keuangan, dan moneter Islam yang membuat harta Baitulmal negara akan melimpah ruah dari sumber-sumber pendapatan yang sangat besar dan beragam. Ini tersebab seluruh negeri muslim akan dipersatukan dalam satu kepemimpinan. Wallahu A’lam Bisshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak