Oleh: lastrilimbong
Fenomena keterlibatan anak-anak dalam praktik judi online (judol) kini memasuki fase yang sangat mengkhawatirkan. Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa anak-anak berusia 10 hingga 16 tahun ikut terlibat dalam aktivitas judol dengan total transaksi mencapai Rp22 miliar. Bahkan, sejumlah media melaporkan bahwa seorang anak berusia 10 tahun di Indonesia telah melakukan transaksi judol bernilai miliaran rupiah.
Fenomena ini jelas bukan sekadar kelalaian individu atau persoalan akses digital semata. Ini adalah cermin dari rusaknya sistem yang menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, bahkan jika harus mengorbankan masa depan generasi bangsa. Di balik kasus-kasus ini, tampak jelas bahwa sistem kapitalisme menjadi akar dari persoalan: sistem yang rakus, bebas nilai, dan tidak mengenal batas moral.
Anak Jadi Sasaran Pasar
Dunia digital di bawah sistem kapitalisme menjadikan siapa pun sebagai target pasar, termasuk anak-anak. Judi online dirancang bukan hanya untuk menarik orang dewasa, tetapi juga memanfaatkan celah psikologis anak-anak yang mudah tergoda visual menarik dan mekanisme permainan yang adiktif. Game dengan fitur "gacha", hadiah instan, hingga iming-iming cuan dalam waktu singkat adalah pintu masuk anak-anak ke dunia perjudian digital.
Sejumlah platform bahkan menyamarkan praktik judi dalam bentuk permainan yang tampak “tidak berbahaya”. Tanpa sistem kontrol yang ketat, anak-anak mudah tergelincir, apalagi jika keluarga dan sekolah tak membekali mereka dengan pemahaman yang kuat.
Negara Gagal Melindungi Generasi
Sayangnya, langkah pemerintah dalam menanggulangi masalah ini belum menyentuh akar. Pemblokiran situs-situs judi dilakukan secara reaktif dan parsial. Banyak situs kembali aktif hanya dalam hitungan jam. Upaya sosialisasi atau edukasi digital pun masih bersifat seremonial, belum menjadi program komprehensif yang menyentuh keluarga dan sekolah secara menyeluruh.
Ini menunjukkan bahwa dalam sistem demokrasi kapitalisme, negara tak memiliki solusi hakiki dalam menjaga moral dan keselamatan generasi muda. Ketika kepentingan ekonomi, kebebasan pasar, dan keterbatasan regulasi mendominasi, anak-anak akan terus menjadi korban. Negara absen dalam fungsi utamanya: menjaga rakyat dari kerusakan.
Peran Strategis Keluarga, Khususnya Ibu
Di tengah situasi yang kompleks ini, keluarga menjadi benteng utama bagi anak. Peran ibu sangat sentral dalam mendampingi tumbuh kembang anak, memberikan pengawasan digital, serta menanamkan nilai-nilai moral dan agama sejak dini. Namun, peran ini menjadi sulit jika para ibu harus turut mencari nafkah atau mengalami tekanan ekonomi yang berat, akibat tidak adanya sistem sosial yang menopang keluarga.
Tanpa sokongan sistem yang memuliakan peran ibu dan menjamin kesejahteraan keluarga, upaya perlindungan anak dari jerat judi online hanya akan menjadi wacana. Sistem kapitalisme telah menjadikan para orang tua sibuk bertahan hidup, alih-alih mendidik dan melindungi anak-anak mereka.
Pendidikan Islam: Menanamkan Standar Halal dan Haram
Berbeda dengan sistem pendidikan sekuler saat ini yang lebih menekankan aspek akademik dan keterampilan, pendidikan dalam Islam membentuk kepribadian anak secara menyeluruh. Islam menanamkan standar halal dan haram sebagai tolok ukur perilaku, termasuk dalam bermedia digital.
Anak tidak hanya diajarkan tentang bahaya judi dari sisi hukum positif, tetapi juga dari sudut pandang akidah: bahwa berjudi adalah bentuk kemaksiatan yang dilarang Allah. Pola pikir seperti ini hanya bisa terbentuk dalam sistem pendidikan Islam yang holistik dan berorientasi pada pembentukan akhlak, bukan semata keterampilan teknis.
Negara Islam: Mencegah, Mengawasi, dan Memberi Sanksi Tegas
Dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab penuh dalam menjaga rakyat dari segala bentuk kerusakan. Negara tidak sekadar memblokir situs judol, tetapi juga memastikan bahwa seluruh sistem mulai dari pendidikan, ekonomi, hingga media tidak membuka celah bagi konten merusak masuk dan menyebar.
Negara tidak akan membiarkan bisnis haram seperti judi beroperasi, apa pun dalih keuntungan atau maslahatnya. Tidak ada toleransi terhadap praktik maksiat yang merusak individu dan masyarakat. Sistem pengawasan akan ketat dan menyeluruh, baik di ranah fisik maupun digital. Setiap pelaku, baik penyedia layanan, pengiklan, maupun pengguna, akan dikenai sanksi yang tegas dan menjerakan.
Digitalisasi dalam sistem Islam tidak dibiarkan liar dan bebas nilai. Negara akan mengarahkan kemajuan teknologi untuk kemaslahatan umat sebagai sarana pendidikan, dakwah, pengembangan sains, dan pelayanan publik. Setiap bentuk penyimpangan yang melibatkan teknologi, seperti judi online, akan dicegah sejak hulu dan ditindak dengan sistem hukum Islam yang adil dan efektif.
Lebih dari itu, sistem Islam juga menjamin kesejahteraan keluarga, sehingga para ibu dapat fokus menjalankan perannya sebagai pendidik utama generasi. Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang sehat secara spiritual dan sosial, dengan negara yang benar-benar hadir dalam setiap aspek kehidupan mereka.
Penutup
Masifnya kasus keterlibatan anak-anak dalam judi online adalah tanda darurat generasi. Ini bukan sekadar masalah teknologi atau kelalaian orang tua. Ini adalah buah pahit dari sistem kapitalisme yang menjadikan uang sebagai tujuan utama, tanpa peduli siapa yang harus dikorbankan.
Sudah saatnya kita menengok kembali sistem yang mampu menjaga akhlak, membina keluarga, dan menjamin pendidikan anak-anak dengan benar. Islam hadir bukan hanya sebagai agama spiritual, tetapi juga sistem kehidupan yang menyelamatkan manusia dari kehancuran moral.
Tags
Opini