Oleh: Hamnah B. Lin
Gelombang kasus asusila yang melibatkan kekerasan seksual dalam keluarga kembali mengguncang Kabupaten Gresik. Satreskrim Polres Gresik berhasil mengamankan dua ayah tiri bejat di dua lokasi berbeda, yaitu Kecamatan Dukun dan Driyorejo, atas tuduhan rudapaksa anak di bawah umur ( radargresik.id, 6/06/2025 ).
Maraknya kasus pemerkosaan di negeri kita menegaskan bahwa sedang terjadi krisis keamanan bagi kaum perempuan. Di satu sisi, kaum perempuan dibebaskan untuk berekspresi dan bertingkah laku yang jauh dari rem syariat. Berbagai celah kebangkitan syahwat juga dibuka lebar melalui liberalisasi konten media yang bahkan kehadirannya bisa diakses langsung melalui ponsel pintar milik tiap individu.
Di sisi lain, ruang-ruang pengajian yang mengantarkan pada ketakwaan malah rawan dibubarkan, pengisi kajiannya dikriminalisasi, dan pesertanya dimoderasi di berbagai lini demi tampilnya narasi liberal dan sekuler. Ini semua adalah realitas salah kaprah yang tidak bisa dibenarkan maupun dibiarkan begitu saja. Maraknya kasus pemerkosaan tidaklah mengherankan, kendati tentu saja tidak boleh dimaklumi. Ini karena suasana kehidupan masyarakat secara umum memang kondusif untuk berbuat bejat.
Fakta miris lainnya, keluarga tidak lagi memiliki profil sahih untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam yang disertai koridor keterikatan pada hukum syarak di antara seluruh anggota keluarga. Sistem pendidikan di luar keluarga (sekolah atau lembaga pendidikan lainnya) juga telah gagal melahirkan generasi berakhlak mulia dan berkepribadian Islam.
Indonesia sendiri, yang mengeklaim berpegang pada prinsip hidup adat ketimuran, realitasnya adat ketimuran yang rapuh ini telah tergerus oleh pengaruh ideologi sekuler liberal kapitalisme. Prinsip kebebasan itu tegak atas sekularisme yang meminggirkan aturan Sang Pencipta. Dalam sistem tersebut, manusia meyakini bahwa aturan Ilahi tidak memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan sosial dan negara. Seluruh aturan yang ada di masyarakat murni hasil kesepakatan yang didasarkan atas kecenderungan manusia dalam menentukan suka atau tidak suka terhadap sesuatu.
Setidaknya jika diamati ada tiga hal yang menyebabkan kasus pemerkosaan terus meningkat saat ini:
Pertama, dari aspek sanksi yang tidak menjerakan. Berdasarkan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar (Kompas, 6-1-2022).
Kedua, masih terdapat perbedaan persepsi di antara para aparat terkait definisi kasus. Perbedaan definisi kasus di antara para aparat ini bisa menjadi kesalahan fatal karena terkait penentuan hukuman bagi pelaku. Lantas, kalau definisinya saja berbeda, bagaimana keadilan hukum bisa terwujud?
Ketiga, buruknya pengaturan media massa. Pornografi-pornoaksi banyak bergentayangan di internet. Siapa pun mudah saja mengakses konten porno melalui ponselnya.
Keempat adalah buruknya sistem pendidikan. Kurikulum pendidikan kita begitu jauh dari agama (sekuler) sehingga output-nya adalah orang-orang yang mengabaikan agama. Mereka tidak peduli halal-haram, juga tidak takut neraka, apalagi mau merindukan surga. Mereka merasa bebas berbuat apa saja tanpa peduli terhadap syariat. Akibatnya, terwujudlah masyarakat liberal sehingga memunculkan beraneka macam tindak kejahatan.
Sungguh miris, jika negara tetap menjalankan sistem kapitalisme hari ini maka tunggulah, generasi kian hancur dan negara akan turut hancur.
Mari selamatkn negeri ini dengan penerapan Islam kaaffah, dimana Islam akan merombak seluruh sistem hari ini menjadi sistem yang di Ridhai Allah. Dimulai dari Sistem pendidikan Islam akan mewujudkan pribadi bertakwa sehingga tidak akan mudah bermaksiat. Sistem pergaulan Islam memisahkan antara kehidupan laki-laki dan perempuan, kecuali ada keperluan yang dibenarkan syarak. Tidak akan terjadi interaksi khusus antara laki-laki dan perempuan nonmahram selain dalam ikatan pernikahan.
Sistem media massa dalam Islam mencegah adanya konten pornografi-pornoaksi sehingga tidak ada rangsangan yang bisa mendorong terjadinya kekerasan seksual. Sistem ekonomi dalam Islam pun menempatkan perempuan sebagai pihak yang dinafkahi sehingga mereka tidak perlu pontang-panting mencari pekerjaan demi menghidupi dirinya sendiri hingga menempatkannya pada bahaya.
Dari segi sanksi, Jika terjadi kasus, negara akan memberikan sanksi tegas. Jika pelecehan seksual yang terjadi sampai terkategori zina, hukumannya adalah 100 kali dera bagi pelaku yang belum menikah dan hukuman rajam bagi pelaku yang sudah menikah.
Adapun perkosaan atau rudapaksa (ightisabh) bukanlah hanya soal zina, melainkan sampai melakukan pemaksaan atau ikrah yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri. Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Istidzkar menyatakan, “Sesungguhnya, hakim atau kadi dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan takzir kepadanya dengan suatu hukuman atau sanksi yang dapat membuat jera untuknya dan orang-orang yang semisalnya.”
Hukuman takzir ini dilakukan sebelum penerapan sanksi rajam. Adapun ragam takzir dijelaskan dalam kitab Nizhamul Uqubat, yaitu bahwa ada 15 macam takzir, di antaranya adalah dera dan pengasingan.
Inilah sekelumit gambaran Islam jika diterapkan, berbagai upaya akan dilakukan negara untuk bisa melindungi perempuan dan anak - anak, juga seluruh warga negara khilafah seluruhnya. Maka sudah saatnya meninggalkan sistem kapitalisme hari ini, dan menerapkan sistem Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Wallahu a'lam.