Oleh: Hamnah B. Lin
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Gresik mencatat ratusan rumah terdampak banjir luapan Sungai Bengawan, Senin (9/6/2025). Sebanyak 240 rumah terdampak banjir tersebut. Kepala Bidang (Kabid) Kedaruratan dan Logistik BPBD Gresik, F.X. Driatmiko Herlambang mengatakan, intensitas hujan yang tinggi di wilayah hulu seperti Mojokerto dan Lamongan diduga menjadi penyebab aliran sungai meluap.
"Ya diduga intensitas hujan tinggi di bagian hulu seperti Mojokerto dan Lamongan sehingga kita Kabupaten Gresik menerima luapan airnya," ucapnya, Senin ( suarajatimpost.com, 9/6/2025 ).
Terjadinya banjir berulang bukan semata karena curah hujan tinggi dan pendangkalan sungai. Namun, akar masalahnya adalah kebijakan pembangunan kapitalistik yang telah mengabaikan lingkungan dan dampaknya pada masyarakat.
Atas nama pertumbuhan ekonomi, pemerintah memberi izin deforestasi dan alih fungsi lahan. Tampak bahwa kebijakan pemerintah lebih memihak pada pengusaha dan tidak memedulikan penderitaan rakyat. Ini tidak lepas dari karakter pejabat yang kapitalistik, yaitu mencari keuntungan pribadi dari jabatannya dan abai terhadap rakyat yang seharusnya ia lindungi. Penguasa kapitalistik merupakan buah dari penerapan sistem sekuler kapitalistik.
Penguasa khas kapitalisme yang tidak berperan sebagai raa’in (pengurus rakyat), tetapi malah menjadi “pebisnis” yang sibuk memperkaya diri sendiri. Kalaupun ada pernyataan atau kebijakan pejabat yang menunjukkan simpati pada korban banjir, sifatnya pencitraan belaka dan tidak menyentuh akar masalahnya. Akibatnya masalah banjir tidak kunjung bisa diselesaikan.
Namun hal ini sungguh jauh berbeda tatkala Islam berkuasa dalam sebuah negara bernama Khilafah Islam, dimana sistemnya telah Rasulullah saw. telandankan melalui sistem nya yakni sistem pemerintahan Islam.
Penyelesaian banjir dalam Khilafah dilakukan secara sistemis, yaitu dengan menerapkan sistem Islam kafah. Hal itu berawal dari visi negara sebagai pengelola bumi Allah sehingga tidak akan pernah membuat aturan dan kebijakan yang merusak bumi. Ini sebagaimana firman Allah Taala, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.'” (QS Al-Baqarah [2]: 30). Juga firman-Nya, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik.” (QS Al-A’raf [7]: 56).
Hari ini tatkala bencana yang demikian hebatnya, patut disadari bahwa itu merupakan kerusakan yang disebabkan manusia tidak mau menjalankan syariat Allah Taala.
Maka dalam sistem Islam, aturan keseluruhan akan secara tersistem mengacu kepada syariat Islam, dalam urusan mengatur kemaslahatan. Sebagaimana banjir Khilafah akan melakukan mitigasi bencana banjir sebelum (pencegahan) dan sesudah terjadi bencana. Untuk mencegah banjir, Khilafah akan menjalankan politik pembangunan dan tata kota yang memperhatikan pelestarian lingkungan. Daerah resapan air akan dijaga dan dilindungi sehingga fungsinya terjaga secara optimal. Khilafah akan melarang penggunaan daerah resapan air untuk permukiman, tempat wisata, maupun yang lainnya. Alih fungsi hutan akan dilakukan dengan cara saksama berdasarkan perhitungan para ahli sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Khilafah juga melakukan pengawasan terhadap keoptimalan fungsi bendungan, sungai, saluran air, dan sarana lain yang merupakan jalur lewatnya air. Selain menempatkan petugas pemantau, Khilafah juga akan menggunakan kamera pengawas yang melaporkan perkembangan ketinggian air secara real-time.
Negara juga akan mengedukasi masyarakat untuk turut bertanggungjawab menjaga lingkungan. Seperti tidak membuang sampah dan limbah sembarangan. Menanami lahan - lahan yang gundul dengan tanaman yang akarnya efektif menyerap air.
Negara Khilafah akan menyejahterakan penduduknya dengan mencukupi kebutuhan perumahan sehingga tidak ada lagi orang-orang yang tinggal di pinggiran sungai. Negara juga akan mencetak para pejabat yang amanah sehingga tidak akan memperjualbelikan izin pembangunan yang merusak lingkungan.
Namun tatkala banjir melanda, maka dengan segala daya upaya khilafah akan segera menuntaskannya. Jika ada uang di baitulmal maka segera di alokasikan untuk bencana tersebut. Namun jika tidak ada maka kaum muslim wajib membiayainya dan harus segera dikumpulkan (pajak/dharibah) dari mereka tanpa ada paksaan. Jika timbul kekhawatiran bahaya terus berlangsung, negara boleh meminjam (berutang) untuk mencukupi pembiayaan bencana alam ini. Pinjaman (nonribawi) tersebut dilunasi dari harta kaum muslim yang dikumpulkan. Namun pajak itu hanya dipungut temporer dan sebatas besaran kebutuhan untuk bencana saja. Pajak tersebut juga dipungut hanya dari laki-laki muslim yang kaya.
Sebagai ikhtiar langit, Negara juga mendorong kaum Muslim untuk membantu warga yang menjadi korban bencana dengan memberikan sedekah. Tidak lupa, khalifah akan mengajak warganya untuk bertobat, mohon ampun, dan berdoa kepada Allah Taala agar bencana tersebut lekas selesai.
Demikianlah upaya khilafah mencegah dan menghadapi bencana banjir. Sebagai penguasa yang amanah wajib kita kaum muslim memperjuangkan adanya sistem khilafah ini.
Walahu a'lam.