Ibadah Haji dan Persatuan Umat



Oleh: Hany Handayani Primantara, SP. 
(Penggiat Literasi)



Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima. Ibadah ini merupakan salah satu perintah Allah swt kepada seluruh umat yang mampu dari sisi fisik, harta dan mental. Tujuan dari Ibadah haji adalah bagian dari manifestasi kekuatan iman yakni ketaatan kepada Allah swt. Ada simbol unik yang dapat kita lihat dari ibadah haji, yakni penampakan ikatan aqidah Islam yang kuat mempersatukannya. Berkumpulnya manusia di pusat Ka'bah menunjukkan betapa Islam mampu menghilangkan segala perbedaan duniawi. 

Perbedaan ras maupun etnis manusia dari berbagai negara dan suku tidak menghalangi mereka untuk bisa akur menjalankan prosesi ibadah haji. Beragam warna kulit, bahasa, serta adat kebiasaan membuat mereka sama-sama khusyuk menghadap Rabb-nya. Berlomba-lomba menjadi hamba terbaik di sisi Allah dengan penuh ketaatan dan ketundukan. Pakaian ihram jadi simbol bersihnya hati para jamaah dari segala godaan setan yang bisa menyesatkan mereka.

Namun umat Islam yang berjumlah hampir 2 miliar yang harusnya menjadi kekuatan dunia dan disegani tersebut justru tidak bersatu saat ini. Hal itu nampak dari MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang didirikan pada 1988 untuk menyatukan penentuan awal bulan hijriah, khususnya Idul Fitri dan Idul Adha, guna memperkuat solidaritas umat Islam di Asia Tenggara justru mengalami perpecahan. Perbedaan penetapan Idul Adha 1446 H/2025 yakni Indonesia pada 6 Juni dan Malaysia pada 7 Juni mengungkap kelemahan organisasi ini. MABIMS akhirnya hanya menjadi simbol birokratis yang gagal menjalankan misi pemersatuannya, menurut Muhammad Akhyar Adnan. (Muhammadiyah.id, 01/06/25)

Faktor Perpecahan Bukan Sekadar Beda Pendapat 

Persatuan saat Idul Adha belakangan ini seringkali hanya sesaat. Selepas itu, umat kembali tercerai dan bahkan saling bermusuhan, mampu melupakan penderitaan saudara seiman di berbagai penjuru dunia. Apa gerangan yang melatarbelakanginya? Ternyata perpecahan tersebut bukan karena sekadar perbedaan pendapat dari sisi penentuan Idul Adha. Islam justru menghargai perbedaan pendapat dari sisi fiqih selama merujuk pada dalil yang jelas. Islam sangat kaya dari sisi khazanah keilmuan hingga mempersilahkan para mujtahid untuk menggali hukum syara. Maka tidak wajar jika hanya sekadar masalah tersebut akhirnya membuat kaum muslim terpecah hingga jatuh pada sifat ashobiyah.

Usut punya usut ternyata saat ini kaum muslim telah menanggalkan ikatan aqidahnya. Ikatan aqidah berganti dengan ikatan berdasarkan batas teritorial wilayah masing-masing. Mereka tercerai karena sekat nasionalisme dan golongan yang dihembuskan oleh Barat. Menganggap ikatan aqidah telah usang dimakan zaman. Mereka rela menggantinya sesuai dengan arahan Barat. Menganggap segala yang bersumber dari Barat adalah kemajuan, termasuk dari sisi ikatan diantara manusianya. Padahal mereka lupa bahwa ikatan yang ditawarkan Barat justru ikatan yang rendah, ikatan sementara dan tidak mampu menyatukan manusia menjadi sebuah bangsa yang bangkit.

Muslim saat ini tak jauh beda dengan kaum jahiliah di zaman rasul. Sekalipun mereka menyandang predikat Islam namun hal yang menyatukan mereka sudah tak sama lagi seperti dulu. Tidak ada ikatan aqidah yang mewarnai. Maka wajar jika saat ini sulit rasanya menyatukan kaum muslim dalam segala aspek kehidupan. Kaum muslim lebih sering saling sikut dengan saudaranya sendiri. Sampai pada fase dimana mereka tak mampu menolong saudara satu aqidah di wilayah tempat tinggal berbeda.

Kembalinya Simbol Haji Sebagai Pemersatu Umat 

Terbukti bahwa MABIS hanya sekadar simbol pemersatu sebagaimana yang disampaikan oleh Dosen Prodi Akuntansi FEB Universitas Yarsi. Persatuan sejati hanya dapat terwujud dalam institusi politik Islam global yakni Khilafah atau imamah. Khilafah bagai rumah yang melindungi kaum muslim dari terpaan hujan dan badai. Khilafah sudah selayaknya diperjuangkan atas dasar pemenuhan kewajiban sebagai hamba Allah dan kebutuhan umat akan junah. Hanya Khilafah yang mampu menyatukan umat dalam satu tubuh dan tujuan. Sebab dari sana lahir aqidah Islam sebagai perekat diantara mereka.

Idul Adha mengajarkan ketaatan mutlak kepada Allah. Seharusnya bisa dijadikan momen terbaik untuk mendorong umat agar patuh sepenuhnya pada syariat Islam, bukan hanya pada aspek ritual, tapi juga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menyembelih hawa nafsu kehewanan yang menempel pada manusia agar bisa hidup layak sesuai anjuran Rabbnya. “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. [al-Imran/3: 103].

Wallahu alam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak