Oleh: Rifdah Reza Ramadhan, S.Sos.
(Mahasiswa Magister Komunikasi Politik)
Pada akhir bulan Mei 2025 Pemerintah Kabupaten Purwakarta menerapkan kebijakan terkait kebijakan jam malam untuk para pelajar. Hal ini tertulis dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 51/PA.03/DISDIK tertanggal 23 Medi 2025.
Peserta didik mencangkup semua jenjang pendidikan mulai dari PAUD, SD, hingga SMP sederajat. Mereka akan dikenakan pembatasan aktivitas di luar rumah pada malam hari, yaitu dari pukul 21.00 WIB hingga 04.00 WIB. Bupati Purwakarta, Om Zain memaparkan, “Pembatasan ini berlaku demi menjaga keamanan dan ketertiban serta mendukung proses pendidikan yang lebih baik.” (jabar.antaranews.com, 30/05/2025).
Om Zain juga menyampaikan, “Kebijakan ini muncul sebagai bentuk kepedulian pemerintah daerah untuk menekan aktivitas negatif remaja di malam hari yang dinilai bisa berdampak buruk bagi perkembangan karakter dan prestasi peserta didik.” (sinarjabar.com, 29/05/2025).
Simbolisme dan Politik Moral
Hal ini pun memantik pertanyaan, mengapa pemerintah terus sibuk mengatur perilaku permukaan? Padahal, bila digali lebih dalam ada kegagalan sistemik dalam pendidikan karakter saat ini. Lantas apakah pengaturan batasan jam malam di atas cukup untuk melahirkan generasi bermoral dan berkarakter di tengah sistem yang secara terstruktur justru membentuk kebiasaan liberal dan permisif (serba boleh)?
Bila ditelisik, jam malam bagi para pelajar bisa menjadi bentuk kebijakan yang simbolik dalam komunikasi populis. Realita menunjukkan, tidak sedikit upaya pemerintah untuk dapat terlihat hadir sebagai pemberi jalan keluar pada permasalahan, padahal yang dilakukan hanya sebatas kontrol sosial superfisial (tidak mendalam). Ini selaras dengan apa yang dipaparkan Murray Edelman sebagai symbolic politic, yaitu kebijakan yang lebih difokuskan pada membentuk persepsi publik daripada menyelesaikan akar dari permasalahan.
Dalam bukunya berjudul “The Symbolic Uses of Politic” Edelman menguak bagaimana pemerintah sering kali menggunakan kebijakan simbolik sebagai respons pada tekanan publik atau kegagalan sistemik. Di sisi lain, penertiban ini dilakukan tanpa menyoal sistem yang membentuk perilaku tersebut. Inilah yang ditampilkan pada masyarakat, pemegang kebijakan tampil sebagai aktor penjamin moralitas publik, namun sayangnya tidak hadir dalam membongkar struktur kapitalisme yang secara terstrutur melandasi perilaku masyarakat.
Kritik terhadap Sistem Kapitalisme
Permasalahan di tengah masyarakat tidak terjadi begitu saja, ada akar permasalahan dari buruknya karakter pelajar saat ini. Semua itu tidak bisa dipisahkan dari sistem kapitalisme yang bercokol. Sistem kapitalisme saat ini menjadi struktur dominan yang memproduksi kebiasaan generasi muda. Bukan sekadar menghasilkan sistem ekonomi yang eksploitatif, kapitalisme pun membangun nilai, gaya hidup, hingga identitas sosial generasi muda.
Maka, pelajar akan dengan mudah terpapar akibat dari penerapan sistem kapitalisme tersebut. Bahkan, pelajar dibentuk menjadi subjek konsumsi dan jauh dari generasi yang terdidik secara ideologis. Belum lahir sistem pendidikan yang diarahkan pada sebatas mencetak manusia pasar, bukan manusia visioner.
Henry Giroux dalam Stealing Innocence pun memaparkan bahwa kapitalisme kini menyusup melalui banyak hal pulai dari budaya pop hingga media digital yang dengan mudah menjajah kesadaran. Dengan demikian, pendidikan karakter yang dilayangkan belum mampu dan tidak berhasil menjadi solusi. Sebab, permasalahannya lebih dari itu, kapitalisme bagaikan monster yang mengintai tiada jeda.
Kapitalisme juga melahirkan arus digital yang dikuasai oleh standarnya. Dengan itu, generasi muda sering kali mengalami disorientasi identitas bahkan hingga level akut. Generasi bukan dibentuk menjadi sosok yang sadar pada politik (political subject), melainkan disetir sebagai konsumen konten serta gaya hidup. Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa generasi muda sering gagal bahkan enggan memahami akar struktural dari berbagai krisis sosial yang menimpanya.
Sistem pendidikan yang hadir pun ditopang oleh asas sekuler yang tidak menyentuh solusi nyata, justru menambah masalah yang baru. Maka, tak aneh lahir peraturan-peraturan absurd yang memaksa generasi muda untuk sekadar menertibkan tubuh, tetapi pemikiran tetap dibiarkan dikuasai landasan yang kacau. Alhasil, pelajar tidak tahu arah dan pendirian atas dirinya.
Pendidikan Ideologis dan Sistemik Ala Islam
Sangat berbalik arah dari kapitalisme yang hanya membentuk generasi sebagai alat produksi, dengan landasan kebebasan semu, dan kebijakan populis, Islam justru mengantarkan manusia menjadi makhluk yang dapat berpikir atas dasar akidah. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa pendidikan dalam Islam bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah), yaitu di dalamnya ada kesatuan antara pola pikir (aqliyah) dan pola jiwa (nafsiyah) yang dibentuk oleh akidah Islam.
Negara dengan sistem peraturan Islam secara menyeluruh (kafah) tidak akan menyerahkan pendidikan pada mekanisme pasar, kebebasan-kebebasan semu, dan kebijakan populis. Negara dengan Islam kafah menjadikan tanggung jawab negara dalam upaya membentuk generasi yang tentunya beriman, berilmu, dan bertanggung jawab.
Dalam Islam, pendidikan bukanlah hanya soal sekolah atau kurikulum, melainkan sistem yang menjadi satu kesatuan dengan masyarakat dan negara. Generasi muda pun akan hidup dengan landasan Islam. Hal itu melahirkan generasi muda meiliki standar dalam melangkah dengan mempertimbangkan halal-haram, bukan standar ala sekuler yang justru menjerumuskan.
Dengan demikian, tidak diperlukan kebijakan seperti batasan jam malam. Sebab, ada kontrol yang sudah tertancap pada benak generasi muda dengan sebaik-baik landasan, yaitu Islam. Inilah luar biasanya Islam, dapat mengurusi individu, masyarakat, dan negara dengan sangat efektif.
Maka, hendaknya jangan terkecoh dengan kebijakan yang justru kebijakan itu lahir dari tidak mampunya mengakui kegagalan sistemik dalam melahirkan generasi yang berkarakter. Pendidikan karakter yang hakiki bukan lahir dari sistem kapitalis-sekuler yang menjauhkan dari nilai ketuhanan dan ideologi dari generasi. Bukan pula dari penambahan aturan, melainkan dari revolusi nilai yang hanya dapat tertuang dari sebaik-baik landasan, yaitu Islam. Saatnya solusi bukan sebatas pada penertiban jam malam, melainkan membebaskan pikiran dan karakter generasi muda dari sistem yang rusak.
Penerapan Islam kafah menjadi urgensi hari ini. Sebab, hanya dengan Islamlah dapat disatukan akidah, hukum, dan pendidikan dalam satu kesatuan ideologis yang sesuai rida-Nya. Bila tidak dengan Islam, upaya melahirkan generasi muda yang berkarakter akan terus menerus mengalami kegagalan.
Wallahu a’lam bishawab.
Tags
Opini