Oleh Aulia Rizki Safitri
Pendidikan merupakan salah satu hak dasar yang harus dimiliki setiap manusia dalam kehidupannya untuk membentuk sebuah karakter, kepribadian dan keterampilan diri guna untuk pengembangan kemajuan suatu bangsa.
Akan tetapi, sistem pendidikan yang terjadi saat ini menunjukan bahwa presentase angka anak tidak sekolah terus meningkat bahkan tak sedikit pula anak yang mengenyam pendidikan kurang layak dan berkualitas.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Tatang Muttaqin mengatakan faktor ekonomi dan membantu orang tua mencari nafkah menjadi penyumbang terbanyak pada tingginya angka anak tidak sekolah (ATS) di Indonesia. Angka ATS yang disebabkan oleh faktor ekonomi adalah sebanyak 25,55 persen dan mencari nafkah sebanyak 21,64 persen.
Penyebab ATS tertinggi selanjutnya adalah menikah, merasa pendidikan cukup, disabilitas, akses yang jauh, perundungan dan faktor lainnya. Tatang menilai fenomena ATS ini terlihat pada anak usia sekolah menengah, di mana kemungkinan putus sekolah semakin besar seiring bertambahnya usia. (tirto.id, 25/5/2025).
Seharusnya pendidikan adalah hak setiap warga negara yang diberikan dan dijamin oleh negara. Namun Selama ini intervensi pemerintah di bidang pendidikan berupa dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan KIP (Kartu Indonesia Pintar) bagi keluarga miskin hanya menjadi bantalan ekonomi keluarga yang kurang mampu.
Akan tetapi, negara tidak menghilangkan akar masalah kemiskinan dan ketimpangan pendidikan dari generasi ke generasi karena intervensi ini diberikan dengan adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi sekolah dan penerima bantuan. Bahkan tak jarang untuk sekolah-sekolah yang ada dipelosok luput dari bantuan ini.
Alih-alih menghilangkan akar masalah, malah kedua bantuan tersebut tidaklah menjadi solusi bagi keluarga kurang mampu yang ingin mengenyam pendidikan berkualitas, karena intervensi ini terkadang tidak lepas dari penyalahgunaan dana dan bantuan yang tidak tepat sasaran pada penerima yang membutuhkan.
Penyumbang dari tingginya persentase anak tidak sekolah adalah karena adanya faktor ekonomi yang semakin dipersulit dan susahnya mencari nafkah merupakan bukti bahwa pendidikan sebagai komoditas mahal yang tidak bisa diakses oleh seluruh rakyat dan hanya bisa diakses oleh kalangan yang mampu secara finansial.
Maka untuk menutupi kegagalan intervensi ala sistem kapitalisme, pemerintahan Prabowo menggagas Sekolah Rakyat untuk anak orang miskin (kurang mampu) dan Sekolah Garuda Unggul untuk anak orang kaya (mampu) sebagai jalan tengah yang bersifat akomodatif. Program-program kebijakan ini akan dinarasikan rezim sebagai upaya untuk pemerataan akses pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan dalam sistem kapitalisme yang berlandaskan pada pencapaian materi semata dan berpihak pada orang-orang yang menguntungkannya, sehingga pendidikan yang layak dan berkualitas hanyalah dimiliki oleh orang-orang mampu yang berkuasa dan malah membebani rakyat yang berusaha mengenyam pendidikan layak sehingga menciptakan kesenjangan sosial yang tinggi antara si miskin dan si kaya.
Program-program kebijakan ini akan dinarasikan rezim sebagai upaya untuk pemerataan akses pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Padahal seharusnya pemerintah tidak perlu membuat sekolah khusus untuk rakyat kurang mampu dan rakyat mampu, akan lebih baik apabila anak memperoleh pendidikan dan fasilitas layak juga berkualitas yang setara dan merata tanpa dibedakan berdasarkan keadaan ekonominya, sehingga kebijakan program ini tidak memicu deskriminasi sosial yang lebih luas.
Sejatinya program tersebut hanyalah program populis yang tidak menyelesaikan akar masalah, sekedar tambal sulam dalam sistem kapitalisme dan terus berulang di setiap generasi tanpa adanya solusi tuntas.
Dalam Islam, pendidikan bukan untuk menyelesaikan masalah ekonomi negara. Sistem ekonomi Islam justru diterapkan sebagai supra struktur dan menyokong sistem pendidikan. Pendidikan adalah hak syar’i warga negara untuk mencetak generasi subyek peradaban.
Dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan pendidikan gratis juga berkualitas bagi setiap rakyatnya, Islam juga tidak membedakan kesetaraan kualitas dan fasilitasnya sehingga tidak akan ada yang diprioritaskan karena status sosialnya. Jadi tidak akan ada lagi anak yang tidak sekolah karena kendala faktor ekonomi.
Islam juga tidak menjadikan sistem pendidikan sebagai ladang komersial untuk memperoleh keuntungan dengan membebani rakyat, karena pendidikan Islam diselenggarakan untuk mencetak generasi bersyakhshiyah Islam yang menguasai ilmu terapan serta dipersiapkan untuk mengagungkan peradaban Islam dan siap berdakwah dan berjihad ke seluruh penjuru dunia.
Pendidikan Islam justru akan menjadi mercusuar dunia, kiblat masyarakat internasional. Generasi Muslim akan hadir sebagai penjaga dan pembentuk peradaban Islam yang mulia, sehingga tidak akan terjadi deskriminasi sosial karena hak dasar pendidikan terpenuhi di setiap generasi secara setara dan berkualitas.
Wallahua'lam bishshawab.
Tags
Opini