Oleh: Resa Ristia Nuraidah
Kondisi mutu dan aksesibilitas pendidikan di Indonesia patut disorot kembali setelah data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan disparitas atau kesenjangan yang cukup tinggi pada beberapa wilayah. Berdasarkan data yang dihimpun tahun 2024, mayoritas penduduk Indonesia yang berusia di atas 15 tahun memiliki ijazah SMA atau sederajat, tepatnya sekitar 30,85 persen.
Sementara itu, hanya 10,2 persen dari penduduk Indonesia yang menyelesaikan pendidikan di tahap perguruan tinggi. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menyoroti tingginya angka lulusan SD dan SMP. Jika dijumlah, angka ini melebihi total penduduk yang memegang ijazah SMA. [Kompas.com]
Rata-rata lama sekolah di Indonesia hanya setara SMP. Hal ini merupakan akibat sistem kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas, sehingga akses bergantung pada kemampuan ekonomi. Dengan angka kemiskinan yang tinggi makin sulitlah rakyat dalam mengakses sarana Pendidikan bahkan Pendidikan dasar. Negara memang sudah memberikan berbagai program yang diharapkan bisa menjadi solusi, seperti KIP, ‘sekolah gratis’, berbagai bantuan yang lain, namun realitanya belum semua rakyat dapat mengakses layanan Pendidikan, apalagi program tersebut hanya untuk kalangan tertentu dan jumlahnya pun terbatas. Belum lagi keberadaan layanan pendidikan yang belum tersedia secara merata di semua wilayah, khususnya daerah 3 T.
Daerah 3T adalah daerah yang tergolong dalam daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Tertinggal berarti memiliki kualitas pembangunan yang rendah, dimana masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Lalu dari sisi geografis berada di daerah terdepan dan terluar wilayah Indonesia.
Swastanisasi, biaya mahal, ketimpangan akses, dan kurikulum pasar menjadikan pendidikan sebagai alat mencetak tenaga kerja murah, bukan hak dasar rakyat. Dan efisiensi anggaran makin memperburuk kondisi tersebut.
Dalam Islam, pendidikan adalah hak setiap warga, miskin ataupun kaya. Negara wajib menyediakannya secara gratis dan berkualitas serta merata ke seluruh wilayah termasuk wilayah 3T untuk membentuk manusia berilmu dan bertakwa dan berketrampilan tinggi. Negara yang bersistemkan Islam memiliki sumber dana yang mumpuni untuk mewujudkan semua itu. Dana pendidikan diambil dari Baitul Mal, khususnya pos fai', kharaj, dan kepemilikan umum yaitu SDA, termasuk pertambangan, dapat diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Negara harus mengelola langsung pendidikan tanpa campur tangan swasta.
Jika pembiayaan dari pos tersebut mencukupi, negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat. Jika harta di baitulmal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, kewajiban pembiayaan tersebut dibebankan kepada kaum muslim hingga terpenuhi. Ini karena hak mendapatkan layanan pendidikan tidak ditentukan berdasarkan ada tidaknya harta, tetapi kewajiban negara atas kemaslahatan yang harus dipenuhinya kepada rakyat.
[Wallāhu a'lam bi Ash-shawāb]
Tags
Opini
