Oleh : Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
Data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2024 menunjukkan rata-rata durasi pendidikan atau sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya mencapai 9,22 tahun. Hal ini sebanding dengan lulusan kelas 9 atau sekolah menengah pertama (SMP) (beritasatu.com, 2-5-2025). Artinya,
pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh capaian jenjang menengah pertama. Tidak sedikit jumlah penduduk yang mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Kualitas dan aksesibilitas pendidikan di Indonesia patut menjadi perhatian. Kesenjangan pendidikan setiap wilayah pun menjadi PR luar biasa bagi negeri ini. Ketimpangan pendidikan terjadi di sejumlah wilayah, diantaranya di Pulau Jawa dan Papua Pegunungan. Di Pulau Jawa, rata-rata lama sekolah 11,5 tahun, sementara di Papua Pegunungan masih banyak yang belum mengenyam pendidikan. Jikapun bersekolah, mereka rata-rata hanya mengenyam pendidikan setara 5,1 tahun. Artinya lulus Sekolah Dasar pun tidak. (kompas.com, 5-4-2025). Partisipasi tenaga pendidik yang rendah dan kurikulum pendidikan yang tidak sepenuhnya mampu dijalankan, disebut sebagai alasan utama rendahnya mutu pendidikan. Tidak hanya itu, pemerintah daerah pun memiliki kapasitas kebijakan yang terbatas dalam mengimplementasikan sejumlah ketetapan.
Dampak Ketimpangan Pengurusan
Rata-rata lama sekolah di Indonesia hanya setara SMP. Fakta ini tentu memprihatinkan. Mengingat negeri ini memiliki sumberdaya alam yang kaya dan melimpah. Mestinya kekayaan yang ada mampu mendongkrak nasib rakyat, salah satunya nasib pendidikan. Namun sayang, tata kelola yang hanya mengutamakan nilai materi telah menjadikan nasib pendidikan rakyat tergadaikan. Kapitalisasi sumberdaya alam menciptakan dampak yang sistemik. Diantaranya menetapkan pendidikan sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Pendidikan dijadikan barang dagangan. Ditarif dengan harga tinggi. Semuanya ditetapkan sesuai dengan kemampuan ekonomi per individu. Inilah sebab utama kesenjangan pendidikan yang kini terjadi.
Jumlah angka kemiskinan yang tinggi menjadikan rakyat kesulitan mengakses kualitas pendidikan yang bermutu. Memang betul, negara sudah memberikan beragam program yang diklaim sebagai solusi pendidikan, seperti KIP (Kartu Indonesia Pintar), ‘sekolah gratis’, berbagai bantuan pendidikan lainnya. Namun faktanya, belum semua rakyat dapat mengakses layanan pendidikan secara merata. Terlebih, program-program tersebut hanya untuk kalangan tertentu dengan jumlah yang terbatas dan berbagai persyaratan yang menyulitkan rakyat. Tidak hanya itu, ketimpangan pendidikan juga sebagai dampak dari tidak meratanya fasilitas dan layanan pendidikan di setiap wilayah. Terkhusus daerah 3T, Terluar (wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan), Tertinggal (wilayah dengan indeks pembangunan rendah) dan Terdepan (wilayah yang berbatasan dengan negara lain).
Swastanisasi, biaya mahal, ketimpangan akses, dan kurikulum yang semakin memburuk menjadikan sektor pendidikan diposisikan sebagai alat pencetak tenaga kerja murahan, sementara tenaga ahli dikendalikan pihak asing atau swasta. Keadaan ini menunjukkan rakyat tidak mendapatkan hak pendidikan yang adil. Keadaan ini pun diperparah dengan kebijakan efisiensi anggaran pendidikan yang semakin menekan kualitas pendidikan dalam negeri.
Pendidikan dalam Islam
Sistem Islam menetapkan sektor pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara. Negara bertanggung jawab menyediakan pendidikan dengan biaya yang terjangkau.
Pendidikan yang berkualitas menjadi salah satu kunci utama kemajuan suatu bangsa. Keberhasilan dan kekuatan sistem pendidikan akan melahirkan generasi yang kuat dan cemerlang.
Dalam tatanan Islam, pendidikan ditempatkan sebagai prioritas yang harus dipenuhi oleh negara untuk seluruh warganya. Negara juga memiliki kewajiban menyediakan pendidikan yang berkualitas dengan biaya yang ringan atau gratis. Hal ini merupakan bentuk ketundukan sistem terhadap hukum syariat. Sebagaimana disampaikan Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Bukhari, bahwa seorang pemimpin adalah pengurus rakyat, dan negara berkewajiban mengurus seluruh kebutuhan individu rakyatnya.
Konsep ini hanya bisa diwujudkan secara menyeluruh dalam sistem Islam berinstitusikan khilafah, satu-satunya institusi yang mampu mengatur urusan rakyat dengan adil dan bijaksana.
Dalam sistem ini, anggaran pendidikan diatur berdasarkan prinsip-prinsip syariat, diberikan kepada seluruh warga tanpa memandang latar belakang, mulai dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi. Sumber pendanaan berasal dari Baitul Maal, yang bersumber dari pengelolaan sumber daya alam secara mandiri dan amanah oleh negara, serta dari pos jizyah, kharaj, fa’i, dan ghanimah.
Dengan sistem ini, masyarakat tidak akan dipersulit oleh biaya pendidikan yang membebani, karena negara menanganinya dengan penuh tanggung jawab untuk menjamin akses pendidikan bagi seluruh rakyat.
Terkait fasilitas, negara pun akan membangun pemerataan fasilitas baik di kota maupun di desa. Setiap individu mampu mengakses layanan pendidikan berkualitas dengan mudah.
Demikianlah bukti kuatnya sistem Islam dalam mengatur kehidupan. Pendidikan menjadi kekuatan tangguh untuk membangun peradaban yang gemilang.
Wallahu a’lam bisshowwab.
Tags
Opini