Oleh: Tsaqifa Farhana Walidaini
(Aktivis Mahasiswa)
Aksi premanisme kembali jadi sorotan publik. Dua kasus terbaru menunjukkan bahwa kejahatan jalanan ini tak lagi sembunyi-sembunyi, tapi justru semakin berani dan terang-terangan. Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, mendesak polisi untuk bertindak tegas terhadap para pelaku premanisme yang memalak sopir truk di wilayah Tanjung Priok dan Cilincing. Ia menyebut, “Negara punya harga diri. Jangan sampai dikalahkan oleh para preman.” (Metrotvnews, 9 Mei 2025).
Tak lama berselang, Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, mengungkap keresahan Presiden Prabowo terkait maraknya aksi premanisme berkedok organisasi masyarakat (ormas). Modusnya: minta “jatah keamanan” dari pelaku usaha hingga pungli berkedok sumbangan sukarela. Tak tanggung-tanggung, aksi ini terjadi di lingkungan Ibu Kota. (CNBC Indonesia, 9 Mei 2025).
Dua peristiwa ini menegaskan satu hal: premanisme tidak mati. Ia justru bertransformasi. Tak lagi berbadan tegap dan bermata garang, tapi bisa memakai seragam, membawa stempel organisasi, bahkan mengaku “berizin”.
Saat Negara Absen, Jalanan Jadi Hukum Sendiri
Fenomena premanisme hari ini sudah jauh lebih sistematis. Ia tumbuh dari level individu hingga kelompok, dari pemalakan warung kecil hingga memeras pelaku usaha besar. Premanisme zaman sekarang bukan cuma soal intimidasi fisik. Ia sudah "naik level". Kreatif, sistemik, bahkan punya legalitas semu. Mereka bergerak atas nama ormas, menyasar sektor informal, minta "jatah proyek", pungli, bahkan terlibat dalam konflik sosial dan politik.
Ibarat virus, premanisme kini punya banyak wajah: dari tukang palak jalanan, debt collector bengis, sampai ormas yang meresahkan.
Mereka hadir di sektor informal, bahkan ilegal, membungkus aktivitas haram dengan nama ormas atau paguyuban. Ironisnya, tak jarang ada pembiaran dari aparat, bahkan perlindungan secara tidak langsung.
Kapitalisme Sekuler, Membiarkan Kekerasan
Apa yang membuat premanisme terus hidup? Jawabannya bukan sekadar kurang patroli atau lemahnya aparat. Masalahnya jauh lebih dalam: cara pandang hidup masyarakat yang dibentuk oleh sistem sekuler-kapitalis.
Kapitalisme menanamkan logika 'siapa kuat dia menang, siapa punya modal dia berkuasa'. Maka, wajar jika orang-orang berlomba mendapatkan kekayaan dengan cara apa pun—termasuk memalak, memeras, atau menciptakan ketakutan.
Negara pun tak benar-benar hadir sebagai pelindung rakyat. Dalam sistem kapitalis-sekuler, negara lebih mirip manajer bisnis, hanya jadi fasilitator dan regulator bagi pemilik modal.
Kesejahteraan rakyat bukan prioritas utama. Akibatnya, rakyat dibiarkan berjuang sendiri dalam kerasnya hidup. Saat kebutuhan makin mahal, pekerjaan makin sulit, dan akses layanan publik semakin komersil, kriminalitas pun melonjak dan premanisme jadi jalan pintas.
Negara semestinya bukan hanya pemberi bansos musiman. Tugas negara adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat pangan murah, pendidikan gratis, layanan kesehatan yang mudah, serta lapangan kerja yang luas. Ketika hal-hal ini tak terpenuhi, maka kejahatan seperti premanisme hanyalah gejala dari kegagalan sistemik.
Hukum yang lemah, penegakan yang tebang pilih, dan aparat yang minim pengawasan hanya menambah daftar panjang ketidakpercayaan publik. Preman akhirnya bukan hanya jadi musuh di jalan, tapi simbol dari matinya rasa aman.
Islam Menyelesaikan Premanisme
Islam memandang premanisme sebagai bentuk kejahatan yang harus dihentikan sejak akar. Tak hanya menghukum pelakunya, tapi juga mencegah kondisi yang melahirkan kriminalitas itu sendiri.
Dalam Islam, tindakan seperti pemalakan atau pemerasan masuk dalam kategori kejahatan ta’zir, yaitu pelanggaran yang hukumannya ditentukan oleh penguasa berdasarkan tingkat keparahannya. Semakin berat kejahatan, semakin keras hukumannya—agar bisa mencegah kejahatan serupa terulang.
Seperti dijelaskan oleh Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam Nizham al-Uqubat, sanksi ta’zir harus sesuai kadar kejahatannya, dan tidak boleh melebihi batas kewajaran hingga menjadi zalim. Penetapannya menjadi hak khalifah atau hakim, dengan mempertimbangkan kondisi pelaku dan fakta kasus di lapangan. Tidak ada tebang pilih.
Islam juga menempatkan keamanan rakyat sebagai prioritas negara. Dalam Ajhizatu ad-Daulah al-Khilafah, Syekh Abdul Qadim Zallum menyebut bahwa Departemen Keamanan Dalam Negeri bertugas menjaga keamanan secara penuh, mengontrol aparat, dan bertindak cepat terhadap gangguan stabilitas. Polisi bukan sekadar simbol, tapi alat aktif negara dalam melindungi rakyat.
Kembali pada Sistem yang Menjamin Keamanan
Premanisme adalah buah busuk dari sistem yang abai terhadap kebutuhan rakyat dan lemah dalam penegakan hukum. Tak hanya sekadar fenomena masalah sosial. Premanisme adalah gejala dari sistem yang gagal menjamin keadilan dan kesejahteraan.
Selama negara hanya menjadi “penonton” dan hukum terus dikendalikan oleh kekuatan uang dan relasi politik, maka kejahatan akan terus beranak-pinak.
Islam hadir membawa sistem alternatif, negara yang hadir, hukum yang tegas namun adil, dan pemimpin yang bertanggung jawab langsung kepada syarak dan rakyat.
Dengan sistem sanksi yang adil dan sistem keamanan yang terstruktur serta diawasi langsung oleh khalifah, Islam mampu menghadirkan rasa aman nyata bagi masyarakat, bukan sekadar wacana atau slogan hukum yang tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Sudah saatnya kita membuka mata dan mencari alternatif solusi dengan sistem kehidupan Islam. Dalam sistem Islam, aksi premanisme dan tindak kriminal lainnya dapat dicegah dan ditangani dengan baik.
Tidak ada sistem sanksi yang lebih baik dalam menangani kejahatan selain dari sanksi yang bersumber dari ketetapan Allah Swt.
Islam bukan hanya agama, tapi sistem hidup yang punya solusi konkret atas persoalan hari ini, termasuk soal keamanan dan hukum.
Tags
Opini