Judol Menyasar ke Anak-anak: Abainya Penguasa terhadap Generasi dalam Sistem Kapitalisme



Oleh Dwi March Trisnawaty
Mahasiswi Magister Sains Ekonomi Islam



Diliput dari cnbcindonesia.com (08/05/2025), anak-anak di Indonesia sudah mulai terlibat dalam transaksi judi online sejak usia 10 tahun, sebagaimana diungkapkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Berdasarkan data kuartal pertama tahun 2025, pemain berusia 10–16 tahun tercatat menyetorkan dana lebih dari Rp2,2 miliar. Sementara itu, kelompok usia 17–19 tahun menyumbang Rp47,9 miliar, dan jumlah deposit tertinggi berasal dari usia 31–40 tahun dengan total mencapai Rp2,5 triliun.

Melalui PP Tunas, pemerintah menegaskan komitmennya dalam memerangi judi online yang menyerang kalangan anak-anak. Regulasi ini mengharuskan penyedia layanan digital membatasi akses anak terhadap konten tertentu, menjaga data pribadi mereka, serta turut serta dalam edukasi literasi digital. Pemerintah juga melakukan pengawasan ketat agar PSE mematuhi ketentuan tersebut. PPATK melaporkan bahwa hingga 8 Mei 2025, ada lebih dari 197 ribu anak berusia 10–19 tahun yang terlibat dalam judi online dengan jumlah deposit sebesar Rp50,1 miliar dalam tiga bulan pertama tahun 2025 (beritasatu.com, 08/05/2025).

Maraknya fenomena  judi online sudah dinilai meresahkan. Apalagi ini semakin terus merambah dan menyasar kepada anak-anak, bukanlah suatu kebetulan semata. Penerapan sistem sekularisme dan kapitalisme menjadikan hawa nafsu kesenangan serta keuntungan semu sebagai tujuan utama. Tanpa pandang bulu apakah itu akan merusak orang dewasa atau malah generasi pemudanya? Industri justru memanfaatkan sisi psikologis dan visual yang menyegarkan  untuk mengelabui anak-anak. Topeng keindahan kapitalisme tidak dapat menutupi kejahatan aslinya yang haus keuntungan meskipun dapat merusak moral.

Abainya pemerintah sebagai penguasa tidak berupaya serius dalam memberantas dan mengatasi website judi online. Akses yang diblokir hanya sebagian bahkan setengah hati memilah-milah, sementara situs judi online lainnya dibiarkan tetap aktif. Anak-anak dengan mudah serta bebas mengakses situs judol, tanpa penjagaan dari orang tua dan negara. Inilah bukti penerapan sistem berlandaskan demokrasi kapitalisme tidak memiliki solusi hakiki dalam menjaga dan menyelamatkan generasi muda dari judol yang mampu menjerumuskan dalam perbuatan kriminal.

Peran orang tua khususnya ibu sebagai pengatur rumahnya memiliki peranan strategis dalam membentengi anak dari kerusakan moral, seperti terjerumus jebakan judi online. Harusnya tatanan keluarga muslim akan melahirkan anak-anak yang tangguh, baik secara akidahnya dan mampu terhindar dari perbuatan maksiat. Akan tetapi semua itu sukar diwujudkan apabila orang tua juga tidak didukung penuh kebutuhan ekonominya oleh negara. Imbasnya dalam mengasuh anak, alih-alih mampu mendidik generasi penerus malah semakin terbebani karena himpitan finansial ekonomi, hingga tidak sempat mendidik anak.  

Dalam Islam, sistem pendidikan tidak berfokus pada peningkatan nilai akademiknya saja. Namun ditanamkan aqidah Islam sedari kecil hingga dapat terbentuk pola pikir serta sikap sesuai dengan syari’at Islam. Anak akan dididik dalam menentukan prioritas amal, menjadikan halal-haram sebagai standar perilaku maupun perbuatan. Maka, anak tersebut tidak akan mengakses situs sembarangan, karena sudah terdidik dari segi literasi digital sesuai dengan batasan syariat Islam.

Digitalisasi memang mempermudah masyarakat dalam mengakses informasi yang lebih luas dan terupdate. Namun dalam penerapan sistem Islam (Daulah Khilafah) akan menyeleksi dan memproteksi warga negaranya dari segala bentuk kerusakan seperti situs judi online. Negara akan menutup rapat akses maksiat secara keseluruhan dan mencegah konten-konten merusak lainnya. Digitalisasi akan digunakan sebagai ladang dakwah untuk kemaslahatan rakyat. Wallahu a’lam bishawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak