Oleh: Nettyhera
(Pengamat Kebijakan Publik)
Pemerintah Kabupaten Bogor resmi memamerkan desain megah Masjid Raya yang akan dibangun di kawasan Stadion Pakansari, Cibinong. Masjid ini diklaim sebagai ikon baru Bogor, lengkap dengan fasilitas ballroom serbaguna, kolam refleksi, menara pandang setinggi 66 meter, payung ala Madinah, hingga miniatur Ka'bah dengan potongan Kiswah asli (WartaKota, 18/5/2025).
Tak tanggung-tanggung, anggaran yang dialokasikan untuk proyek ini mencapai Rp122 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025. Proyek ini disampaikan bukan hanya sebagai sarana ibadah, tetapi juga sebagai pusat pelayanan haji dan umrah serta wisata religi yang membanggakan.
Namun, pertanyaannya, apakah ini benar-benar kebijakan publik yang berpihak pada rakyat? Ataukah ini hanya simbolisme yang menjauh dari substansi kebutuhan umat?
Kemegahan Tak Selalu Bermakna
Sebagai umat Islam, tentu kita menyambut baik dibangunnya masjid. Tapi kita juga perlu kritis: apa urgensi membangun masjid semegah ini saat masih banyak rakyat belum sejahtera? Di saat infrastruktur dasar masih banyak yang rusak, angka kemiskinan masih tinggi, pendidikan dan kesehatan masih butuh banyak perbaikan, apakah anggaran Rp122 miliar sudah proporsional untuk dialokasikan ke satu proyek monumental?
Kebijakan pembangunan seharusnya memprioritaskan hajat hidup orang banyak, bukan sekadar membangun sesuatu yang terlihat indah dari luar. Apalagi bila masjid dijadikan daya tarik wisata atau pusat kegiatan yang justru berpeluang bercampur dengan kepentingan komersial dan politis.
Lebih menyedihkan jika pembangunan masjid megah justru mengorbankan makna spiritual itu sendiri, hanya jadi monumen kebanggaan, bukan pusat perbaikan moral dan sosial umat.
Paradoks dalam Kebijakan Sekuler
Fakta bahwa proyek keagamaan yang megah bisa diloloskan dan dibiayai APBD justru menyingkap satu ironi dalam sistem sekuler saat ini. Negara yang mengaku memisahkan agama dari kebijakan publik, ternyata tetap membangun simbol-simbol agama, namun sayangnya tanpa menjadikan nilai agama sebagai landasan utama kebijakan.
Dalam sistem sekuler-demokrasi, agama hanya difungsikan secara simbolik: cukup dibangun masjid besar, cukup dicantumkan istilah “syariah”, atau cukup memakai atribut Islami. Tapi dalam praktik kebijakan, prinsip Islam tidak menjadi dasar dalam pengaturan ekonomi, keadilan, pendidikan, dan pengelolaan kekayaan daerah.
Akibatnya, rakyat memang bisa melihat masjid yang megah berdiri. Tapi mereka tetap hidup dalam jeratan utang, harga kebutuhan pokok yang tinggi, kesehatan yang mahal, dan pendidikan yang timpang.
Syariah Islam Menyentuh Akar Masalah
Islam bukan sekadar membangun tempat ibadah. Syariah Islam mengatur kehidupan secara menyeluruh, termasuk bagaimana pemimpin wajib mengalokasikan kekayaan milik umum untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bukan untuk proyek prestise.
Dalam sistem Islam, anggaran negara berasal dari pos yang jelas: fai, kharaj, jizyah, dan pengelolaan kepemilikan umum seperti tambang, hutan, dan air, bukan dari pajak rakyat kecil. Negara bertanggung jawab penuh untuk menjamin kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Pembangunan dilakukan berdasarkan kebutuhan, bukan sekadar target serapan anggaran.
Kalaupun membangun masjid, Islam memastikan itu bukan sekadar bangunan fisik, tapi tempat lahirnya pemimpin jujur, cendekiawan yang berani berkata benar, dan masyarakat yang bertakwa. Masjid akan menjadi pusat penguatan umat, bukan sekadar dekorasi kota.
Kembali pada Solusi Sistemik
Wacana kembali pada syariah Islam bukan berarti menolak pembangunan fisik. Justru Islam sangat mendorong pembangunan yang maslahat, terarah, dan berdasarkan kemaslahatan rakyat. Islam hanya menolak pembangunan yang dijadikan alat pencitraan, ajang proyek, atau bentuk kemewahan yang menjauh dari kebutuhan umat.
Masjid memang penting. Tapi lebih penting lagi adalah sistem yang menjamin keadilan bagi rakyat, memastikan kekayaan tidak hanya dinikmati segelintir elite, dan menjadikan agama sebagai ruh seluruh kebijakan, bukan sekadar simbol.
Sudah saatnya masyarakat melek dan kritis. Kita perlu lebih dari sekadar bangga pada bangunan-bangunan megah. Kita butuh perubahan sistemik, dari sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan, menuju penerapan Islam sebagai sistem yang menyeluruh.
Masjid megah bisa saja dibangun. Tapi jangan biarkan itu menjadi pengalihan dari derita rakyat yang kian hari makin terjepit. Mari kita kembali kepada Islam, tak hanya di mimbar, tapi juga dalam kebijakan publik. Bukan Islam simbolik, tapi Islam ideologis, yang menerapkan syariah secara kaffah.
Tags
Opini