Oleh: Hamnah B. Lin
Kisah haru datang dari Dusun Gancung, Desa Tumapel, Kecamatan Duduksampeyan, Gresik. Seorang bayi perempuan yang sedang berjuang melawan sakit akhirnya mendapat pertolongan dari jajaran Polres Gresik setelah orang tuanya kesulitan biaya untuk membawa sang anak ke rumah sakit.
Bayi bernama Mahesa Aprillia Salsabilla itu diketahui mengalami demam tinggi disertai diare sejak beberapa hari terakhir. Putri pasangan Muh Dian Arwinda (30), seorang penjual tempe penyet, dan Ulmi Muslihah (26), mengalami gejala awal dehidrasi yang membuat kondisinya memburuk. Keterbatasan ekonomi membuat keluarga ini bingung mencari jalan keluar. Di tengah keputusasaan, informasi kondisi Mahesa sampai ke telinga Kapolres Gresik AKBP Rovan Richard Mahenu.
Tanpa menunggu lama, perwira lulusan Akpol 2006 itu langsung mengerahkan tim Kesehatan Polres Gresik untuk bertindak cepat ( Gresiksatu.com, 16/05/2025).
Sungguh miris, banyak kasus serupa banyak dialami oleh bayi - bayi bahkan seluruh rakyat Indonesia, dimana nyawa hampir tak terselamatkan bahkan kehilangan nyawa karena tidak memiliki biaya untuk berobat. Atau pernah ada kasus karena panjangnya atau terlalu rumitnya syarat penerima BPJS, ada pasien yang meninggal dunia pada saat mengantri. Sebenarnya ini seharusnya menjadi tanggungjawab siapa?
Permasalahan kesehatan di Indonesia begitu kompleks. Selain mahal dan kurang pendanaan, layanan kesehatan Indonesia juga kekurangan tenaga kesehatan. Presiden Jokowi pada 24 April 2024 mengatakan, saat ini jumlah dokter di Indonesia masih kurang. Rasionya hanya 0,47 per seribu penduduk, padahal rasio standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah 1 per seribu penduduk. Indonesia masih kekurangan 124 ribu dokter umum dan 29 ribu dokter spesialis. Menkes Budi Gunadi pun mengatakan Indonesia butuh 20 tahun untuk mencapai jumlah dokter spesialis yang sesuai standar dunia.
Selain kurang, sebaran tenaga kesehatan juga tidak merata. Banyak dokter masih terkonsentrasi di Jawa. Sebanyak 59% dokter spesialis terkonsentrasi di Jawa. Di DKI Jakarta, satu dokter melayani 608 penduduk, sedangkan di Sulawesi Barat, satu dokter melayani 10.417 penduduk.
Fasilitas kesehatan yang tersedia juga tidak merata sehingga banyak penduduk melakukan pengobatan mandiri tanpa konsultasi ke tenaga kesehatan. Data BPS menunjukkan bahwa 80,9% penduduk perdesaan dan 78,8% penduduk perkotaan pernah melakukan self medication.
Berbagai problem kesehatan tersebut terjadi karena kesalahan paradigma tentang kesehatan. Di dalam sistem kapitalisme, kesehatan merupakan komoditas bisnis sehingga para kapitalis (pemilik modal) akan berlomba-lomba menyediakannya dengan harga yang mahal demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Terjadilah kapitalisasi kesehatan hingga muncul ungkapan “orang miskin dilarang sakit”.
Negara menargetkan kesehatan untuk semua sebagaimana tema Hari Kesehatan Dunia 2023, tetapi kebijakan pemerintah justru membuat kesehatan makin mahal dan eksklusif hanya untuk kalangan berduit. Sedangkan rakyat miskin dan yang ada di seluruh pelosok negeri ini tidak menikmatinya. Ini adalah akibat penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan kesehatan sebagai komoditas bisnis, bukan tanggung jawab negara terhadap rakyat. Ini sungguh berbeda dengan layanan kesehatan dalam sistem Islam.
Islam memosisikan kesehatan sebagai kebutuhan dasar. Hal ini berdasarkan hadis, “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan penawarnya.” (HR Bukhari).
Pemimpin di dalam Islam wajib menjadi raa’in (pengurus) terhadap urusan rakyat. Negara wajib memastikan tiap-tiap individu rakyat mendapatkan layanan kesehatan. Tidak boleh ada rakyat yang terabaikan kesehatannya.
Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin (raa’in) dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Di antara tugas pengaturan urusan umat yang dibebankan kepada Khilafah adalah menyediakan pelayanan kesehatan secara gratis. Hal ini terdapat dalam Muqaddimah ad-Dustuur Pasal 164, “Negara menyediakan seluruh pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat secara cuma-cuma. Namun, negara tidak melarang rakyat untuk menyewa dokter, termasuk menjual obat-obatan.”
Negara juga melakukan upaya preventif untuk mencegah rakyat sakit, yaitu dengan edukasi melalui sistem pendidikan dan informasi (i’lamiyah), vaksinasi, penerapan pola makan dan gaya hidup sehat ala Islam, penyediaan rumah dan lingkungan yang bersih dan sehat, penyediaan air bersih untuk konsumsi dan sanitasi, jaminan ketersediaan makanan dan minuman yang sehat bergizi, penyediaan alat dan tempat olahraga untuk rakyat, pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga dengan baik, penanaman toga di lingkungan permukiman, dan lain-lain.
Semua rakyat, baik kaya ataupun miskin, muslim ataupun kafir, berhak menikmati layanan kesehatan gratis dengan kualitas layanan terbaik. Di rumah sakit, setiap pasien diterima dan mendapatkan layanan kesehatan, termasuk fasilitas kamar, baju ganti, makanan, dan obat.
Semua layanan disediakan negara secara gratis. Sumber pendanaannya dari baitulmal, terutama dari pos kepemilikan umum yang di antaranya meliputi hutan, laut, sungai, dan berbagai tambang. Negara mengelola pos ini secara amanah sesuai syariat Islam dan mengembalikan hasilnya untuk kemaslahatan rakyat, termasuk untuk penyediaan layanan kesehatan gratis. Dengan demikian, kesehatan untuk semua rakyat akan terwujud nyata dalam sistem Islam (Khilafah), karena permasalahan kesehatan mutlak ditangan negara.
Wallahu A'lam bishowab.