Janji Manis Penurunan BPIH ala Rezim Kapitalistik



Oleh : Mikaila Nuaym


Wacana penurunan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) kembali mencuat usai Presiden Prabowo Subianto melontarkan rencananya untuk terus menekan biaya haji setelah sebelumnya berhasil menurunkan sebesar Rp4 juta di awal 2025. Dalam pemberitaan CNN Indonesia pada Minggu (4/5), Prabowo menyatakan belum puas dengan penurunan tersebut dan masih berupaya mencapai harga termurah. Sementara itu, dalam wawancara dengan kantor berita yang sama pada Senin (5/5), pengamat Haji dan Umrah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, menilai bahwa wacana ini masuk akal meski sulit dilakukan.

Menurutnya, upaya ini dapat ditempuh melalui beberapa cara, seperti pengurangan waktu menginap jamaah haji atau penekanan biaya tiket pesawat lewat negosiasi dengan pihak maskapai. Ia juga mendorong Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk berinvestasi secara lebih cermat demi meraup lebih banyak keuntungan, sehingga dapat semakin menurunkan BPIH. Dadi juga mendukung gagasan Prabowo untuk membangun 'Kampung Indonesia' di dekat Masjidil Haram sebagai langkah strategis dalam menekan biaya penginapan jemaah.
Namun, ia mengingatkan bahwa upaya ini membutuhkan modal awal yang signifikan serta lobi diplomatik yang kuat guna memperoleh persetujuan di Tanah Suci. Dadi pun mewanti-wanti agar pemerintah berhati-hati terhadap potensi skema Ponzi dalam pengelolaan dana haji yang justru membuat jemaah haji tunggu harus menanggung biaya lebih mahal. Ia mengusulkan agar pemerintah menggandeng kalangan mampu untuk berkontribusi melalui skema wakaf haji yang dikelola secara transparan.


Bentuk Kepedulian Negara?

Sekilas, langkah ini terlihat sebagai bentuk kepedulian dan keseriusan negara dalam memberikan pelayanan ibadah yang lebih terjangkau. Namun, bila ditelaah lebih dalam, pendekatan yang diambil justru kian menegaskan watak kapitalistik negara dalam mengelola urusan ibadah umat Islam. Melalui BPKH, pemerintah menerima setoran BPIH dari calon jemaah, lalu mengembangkan dana tersebut melalui skema investasi. Orientasi utamanya bukan lagi kemaslahatan umat, tetapi optimalisasi keuntungan melalui instrumen bisnis. Inilah bukti nyata bagaimana kapitalisme telah menjangkiti pengelolaan ibadah, di mana rakyat yang hendak menunaikan rukun Islam kelima justru dijadikan objek bisnis oleh negara. Dana setoran dari rakyat tidak langsung digunakan untuk pelayanan, melainkan diputar demi profit. Ketika ibadah menjadi lahan investasi, maka terjadi pergeseran fungsi negara; dari raa’in (pengurus umat) menjadi agen ekonomi yang memperlakukan rakyat sebagai pasar.

Bahkan, alih-alih menjadi solusi, peringanan beban subsidi melalui program wakaf haji dari kalangan mampu justru mengafirmasi lemahnya peran negara. Subsidi silang semacam ini memindahkan tanggung jawab negara kepada sesama rakyat. Ibadah, yang seharusnya dijamin negara, justru kembali dibebankan pada masyarakat dengan kemasan solidaritas. Begitu pula dengan ide pembangunan 'Kampung Indonesia' di sekitar Masjidil Haram. Walau disebut-sebut sebagai upaya efisiensi, proyek ini tetap merupakan bagian dari diplomasi bisnis dan investasi global pemerintah, bukan pelayanan cepat dan langsung bagi jamaah. Negara sibuk memperluas portofolio ekonomi di luar negeri, sementara pengelolaan birokrasi haji di dalam negeri masih semrawut dan tidak berpihak pada rakyat kecil. Lobi diplomatik yang dilakukan pun tidak diarahkan untuk menghapus kebijakan-kebijakan pembatasan yang bertentangan dengan semangat ukhuwah Islamiyah, melainkan lebih fokus pada peningkatan kuota atau keuntungan politis. Di sini, umat seolah menjadi komoditas dalam arena diplomasi dagang antarnegara.


Ketika Ibadah Dikomersialisasi

Padahal, mahalnya biaya haji bukan hanya soal kurs mata uang atau harga akomodasi di Makkah. Akar persoalannya terletak pada sistem pengelolaan ibadah yang jauh dari nilai-nilai profesionalisme dan keberpihakan terhadap rakyat. Pengurusan teknis maupun administratif masih terkesan rumit, lamban, dan tidak efisien. Alih-alih menyederhanakan pelayanan, negara justru membuka celah komersialisasi dengan menyerahkan pengelolaan dana kepada lembaga yang orientasinya jelas-jelas profit. Profesionalisme bukan lagi diukur dari kenyamanan atau keberkahan ibadah, melainkan dari seberapa besar return investasi dari dana umat. Ketika standar keberhasilan ditentukan oleh grafik keuntungan, maka jelas ibadah telah direduksi menjadi komoditas ekonomi.
Ini adalah konsekuensi logis dari penerapan kapitalisme. Dalam sistem ini, negara tidak lagi berfungsi sebagai pelayan umat, melainkan sebagai aktor ekonomi yang sah untuk mengambil untung dari warganya. Negara menjadi korporasi, sementara rakyat dijadikan konsumen. Bahkan dalam urusan suci seperti haji, transaksi dan akumulasi keuntungan tetap dikedepankan.
“Kalau keuntungannya buat negara juga, kenapa tidak?” Pertanyaan ini terdengar logis dalam logika kapitalisme. Tapi dalam sistem Islam, negara bukan perusahaan. Tujuannya bukan mencetak laba, melainkan melayani rakyat. Ketika negara mulai bermental korporasi, maka relasi amanah berubah menjadi transaksi. Dana haji diputar layaknya saham, dan yang dinilai bukan lagi maslahat umat, tapi seberapa tinggi grafik profit. Jika rugi? Maka umat yang harus menanggung. Dan mari jujur: Kalaupun keuntungan masuk ke kas negara, apakah serta-merta dinikmati rakyat kecil? Faktanya, tidak semua dana negara dikelola secara transparan, dan belum tentu dialokasikan kembali untuk pelayanan publik, apalagi untuk ibadah umat. 


Paradigma Islam: Negara sebagai Pelayan, Bukan Pebisnis

Dalam Islam, negara melayani rakyat, bukan berjual-beli dengan rakyat. Rasulullah SAW bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Islam memandang penguasa sebagai pengurus alias pelayan umat, yang tugas utamanya adalah memastikan setiap rakyat dapat menjalankan agamanya dengan mudah dan tenang, termasuk dalam pelaksanaan ibadah haji. Negara tidak boleh menjadikan ibadah sebagai komoditas. Justru, negara wajib menyediakan fasilitas dan kebijakan yang memudahkan warganya menunaikan kewajiban agama. 
Hal ini hanya dapat terwujud dalam sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islamiyah. Di bawah naungan Khilafah, pengelolaan haji bukan sekadar rutinitas tahunan, melainkan bagian dari tanggung jawab syar’i yang harus ditunaikan secara serius dan profesional. Negara akan menunjuk para pengelola haji dari kalangan ahli, menyederhanakan sistem, mempercepat eksekusi kebijakan, dan menghilangkan prosedur birokrasi yang berbelit. 

Penetapan biaya haji dalam sistem Khilafah akan dihitung secara adil dan proporsional, berdasarkan kebutuhan riil jemaah seperti jarak tempuh dan jenis akomodasi yang digunakan. Tidak ada visa haji, karena seluruh wilayah berada dalam satu negara Khilafah, tidak terpecah-pecah ke dalam banyak negara bangsa seperti hari ini. Kuota haji akan diatur secara internal dan merata, tanpa ketergantungan pada negara lain. Semua ini dilakukan dengan satu tujuan, yakni memastikan setiap Muslim dapat menunaikan ibadah haji tanpa hambatan berarti. 

Dengan demikian, upaya menekan BPIH dalam sistem kapitalisme akan selalu menimbulkan persoalan baru: kapitalisasi, ketidakadilan, dan inefisiensi. Berbeda dengan Islam yang meletakkan ibadah sebagai amanah, bukan komoditas. Sudah saatnya umat menyadari bahwa solusi hakiki bukan pada tambal sulam kebijakan, tetapi pada perubahan sistemik menuju penerapan syariat secara kaffah di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bish shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak