Lilis Tri Harsanti
( Anggota Penulis Rindu Syariah)
International Monetary Fund (IMF) melaporkan Indonesia menjadi negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di antara enam negara Asia Tenggara pada tahun 2024. Peringkat pengangguran Indonesia tersebut merujuk laporan World Economic Outlook April 2024. IMF mendata tingkat pengangguran (_unemployment rate_) berdasarkan persentase angkatan kerja atau penduduk berusia 15 tahun ke atas yang sedang mencari pekerjaan
Lalu, berapa tingkat pengangguran di Indonesia saat ini jika merujuk laporan IMF? Berdasarkan data dari IMF, Indonesia memiliki persentase tingkat pengangguran tertinggi per April 2024 dibandingkan enam negara yang tergabung dalam ASEAN. Indonesia tercatat memiliki tingkat pengangguran mencapai 5,2 persen per April 2024. Bila dibandingkan tahun sebelumnya, angka pengangguran itu hanya turun 0,1 persen dari 5,3 persen pada 2023 (Kompas.com/30-4-2025)
Tingginya angka pengangguran ini adalah sinyal gagalnya negara menciptakan lapangan kerja. Untuk itu, negara semestinya berupaya mencegah bertambahnya angka pengangguran. Hal ini karena keberadaan lapangan kerja sesungguhnya merupakan salah satu standar untuk mengukur kesejahteraan ekonomi rakyat di satu negara.
Jika kita cermati, korelasi dunia kerja dan status sosial masyarakat sejatinya menunjukkan kegagalan negara dalam menciptakan iklim kondusif bagi rakyat untuk meraih kesejahteraan hidup.
Di tengah meningkatnya arus jasa antarnegara sebagai konsekuensi globalisasi hari ini, SDM dalam negeri diharuskan berkompetisi dengan SDM lintas negara. Bahkan, banyak di antara angkatan kerja lulusan SMK/PT tidak terserap dunia kerja. Mirisnya, di saat yang bersamaan negeri ini justru mengimpor banyak tenaga kerja asing.
Hal itu adalah dampak dari kebijakan pengelolaan aset-aset negara yang tidak berpihak pada rakyat. Sekadar contoh, dalam pengelolaan SDA sudah selayaknya negara melakukannya secara mandiri dan menyerap tenaga kerja dalam negeri yang lebih banyak.
Namun realitasnya, pengelolaan SDA—baik dari sisi eksplorasi maupun eksploitasinya—kerap diintervensi negara lain. Tenaga kerjanya pun banyak dari luar. Lapangan kerja di dalam negeri yang terlalu kompetitif, membuat banyak individu memilih untuk merantau atau menjadi tenaga kerja di negeri orang.
Kondisi ini juga tidak lepas dari kekuatan kapitalisme global yang memperburuk ekonomi dunia melalui pemaksaan liberalisasi pasar. Kapitalisme global menjerat negara-negara berkembang dalam berbagai kebijakan ekonomi yang membuka arus barang dan jasa di tengah daya saing yang lemah dari negara-negara pembebek.
Islam mewajibkan negara mengurus rakyat dengan pengurusan yang sempurna. Konsep Islam untuk mengurai problem pengangguran sangatlah jelas dan lengkap.
Pertama, salah satu mekanisme untuk memenuhi kebutuhan adalah dengan bekerja. Dengan begitu, negara berperan penting untuk membuka lapangan kerja, terutama bagi para ayah/wali yang mengemban kewajiban dari Allah Swt. untuk mencari nafkah. Pada tataran ini, negara juga akan mengedukasi dan memotivasi para ayah/wali itu untuk memaksimalkan upaya dalam memenuhi kewajiban atas nafkah tersebut. Jadi jelas, penyelesaian benang kusut ketenagakerjaan pada dasarnya bertumpu pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup serta upaya meningkatkan kesejahteraan hidup.
Kedua, negara bertanggung jawab membuka lapangan kerja untuk menunaikan amanah sebagai pengurus rakyatnya. Selain membuka lapangan kerja, negara dapat memberi modal kepada para ayah/wali itu untuk mengembangkan usaha dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya.
Ketiga, adanya SDM dengan _skill_ (keahlian, keterampilan) yang negara butuhkan tentu melalui proses yang tidak bisa instan. Di sinilah peran negara untuk mempersiapkan SDM. Hal itu bisa negara lakukan melalui pendidikan formal seperti mendirikan sekolah maupun pendidikan tinggi dengan berbagai jurusan. Juga berupa pelatihan, pembekalan _skill_, maupun program belajar dari negara lain. Ini sebagaimana yang pernah Rasulullah saw. lakukan saat mengutus beberapa sahabat untuk mempelajari teknologi perang di Yaman.
Rangkaian kebijakan makro yang merupakan politik ekonomi Islam dalam upaya menciptakan lapangan kerja tersebut akan dapat memutus rantai pengangguran di masyarakat. Politik ekonomi Islam ini merupakan penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok setiap individu masyarakat, bukan sebatas suatu komunitas yang hidup dalam sebuah negara.
Hal ini menunjukkan bahwa Islam menekankan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat secara individual, bukan secara kolektif. Oleh karena itu, negara memberi perhatian penting terkait aspek distribusi harta di tengah-tengah masyarakat demi memenuhi kebutuhan individu per individu.
Atas dasar ini pula, Khilafah akan memantau perkembangan pembangunan dan perekonomian dengan indikator-indikator yang menyentuh tingkat kesejahteraan masyarakat secara riil, bukan semata mengejar angka palsu pertumbuhan ekonomi.
Indikator-indikator tersebut bertujuan untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara utuh baik sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan. Ini menegaskan Khilafah tidak sekadar berpijak pada angka statistik nasional lantas melakukan generalisasi untuk mengeklaim terjadinya pertumbuhan ekonomi.
Kemandirian ekonomi suatu negara adalah kunci untuk mengurai problem masyarakat secara komprehensif termasuk masalah pengangguran. Untuk itu, suatu negara membutuhkan sudut pandang sistemis untuk mengurai masalah ini.
Sebagai catatan, peningkatan angka pengangguran tidak terjadi semata karena faktor produksi atau kondisi dunia yang terus berevolusi melampaui stagnasi sistem konvensional. Lebih dari itu, ada sistem tata kelola dengan paradigma kapitalistik yang pro-korporasi sehingga membuat tingkat ekonomi rakyat makin terpuruk.
Untuk itu, sudah semestinya negara kita beralih dari sistem kapitalisme menuju tegaknya sistem Islam. Islam jelas memiliki konsep sebagai satu-satunya solusi yang mampu mengurai benang kusut masalah pengangguran ini.
_Wallaahualam bissawab._
Tags
Opini