Ironi dalam Mencerdaskan Anak Bangsa



Oleh : Wahyuni M. 
(Aliansi Penulis Rindu Islam)




Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas rata-rata hanya mengenyam pendidikan selama 9,22 tahun setara dengan tingkat pendidikan SMP. Capaian ini menyoroti bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia belum menembus jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Meski mengalami sedikit peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya dan melampaui target RPJMN 2024, kondisi ini tetap menjadi cerminan tantangan dalam pembangunan sektor pendidikan nasional.

Konstitusi menjamin setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Namun, di berbagai pelosok negeri realita berkata lain. Di Dusun Bara, Maros, Sulawesi Selatan, sejumlah anak usia sekolah dasar belajar di kolong rumah panggung yang dulunya bekas kandang ayam. Ruang sempit dan berlantai tanah itu kini menjadi satu-satunya tempat mereka menuntut ilmu.

Sementara itu, ribuan kilometer dari sana, di Sikka, Nusa Tenggara Timur, seorang guru melintasi hutan setiap hari demi mengajar di sekolah terpencil. Dengan bayaran hanya 300 ribu rupiah sebulan, semangatnya tak padam. Bagi sebagian orang mengajar bukan sekadar profesi, tapi panggilan hati.

Kesenjangan pendidikan masih tampak mencolok antarwilayah di Indonesia. Di ibu kota, penduduk DKI Jakarta menempuh rata-rata pendidikan selama 11,5 tahun atau hampir setara dengan jenjang SMA. Sementara itu di Provinsi Papua Pegunungan, anak-anak hanya berkesempatan belajar selama rata-rata 5,1 tahun, bahkan belum menyelesaikan jenjang sekolah dasar.

Rata-rata lama sekolah di Indonesia hanya setara SMP. Ini akibat sistem kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas, sehingga akses bergantung pada kemampuan ekonomi. Dengan angka kemiskinan yang tinggi makin sulitlah rakyat dalam mengakses sarana pendidikan bahkan pendidikan dasar. Negara memang sudah memberikan berbagai program yang diharapkan bisa menjadi solusi, seperti KIP, ‘sekolah gratis’,  dan berbagai bantuan lain, namun realitanya belum semua rakyat dapat mengakses layanan pendidikan, apalagi program tersebut hanya untuk kalangan tertentu dan jumlahnya pun terbatas. Belum lagi keberadaan layanan pendidikan yang belum tersedia secara merata di semua wilayah, khususnya daerah 3 T.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap pergantian pemimpin di negeri ini kerap disusul dengan perubahan arah kebijakan. Ungkapan “ganti presiden, ganti kebijakan, ganti menteri, ganti kurikulum” tak lagi terdengar asing. Kenyataannya hampir setiap menteri pendidikan yang baru datang membawa formula berbeda, membuat kebijakan pendidikan berubah-ubah dari satu periode ke periode berikutnya.

Swastanisasi, biaya mahal, ketimpangan akses, dan kurikulum pasar menjadikan pendidikan sebagai alat mencetak tenaga kerja murah, bukan hak dasar rakyat. Efisiensi anggaran juga makin memperburuk kondisi.

Dalam Khilafah, pendidikan adalah hak setiap warga, miskin ataupun kaya. Negara wajib menyediakannya secara gratis dan merata untuk membentuk manusia berilmu dan bertakwa dan berketrampilan tinggi. Khilafah memiliki sumber dana yang mumpuni untuk mewujudkannya. Dana pendidikan diambil dari baitulmal, khususnya pos fai', kharaj, dan kepemilikan umum. Negara mengelola langsung pendidikan tanpa campur tangan swasta.

Sejarah mencatat, masa kejayaan Daulah Abbasiyah—terutama di era Khalifah Harun ar-Rasyid dan Al-Makmun—menjadi tonggak gemilang peradaban Islam. Saat itu, ilmu pengetahuan tumbuh subur, dengan berdirinya lembaga-lembaga intelektual seperti madrasah, perpustakaan, hingga observatorium yang tersebar di berbagai penjuru. Beragam karya ilmiah lahir dan menjadi warisan tak ternilai bagi dunia.

Kemajuan ilmu pada masa itu bukan hanya memperkuat fondasi peradaban Islam, tetapi juga menjadi pijakan penting bagi kemajuan sains modern. Dari merekalah, manusia belajar membaca arah kiblat dan mata angin, mengenali pola makan sehat, hingga mengembangkan teknologi memasak yang efisien.

Sejarah ini mengingatkan kita bahwa pendidikan yang kuat dan berbasis nilai adalah kunci kemajuan bangsa, kapan pun dan di mana pun.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak