Tarif Baru Barang Impor Amerika



Oleh Lulu Nugroho



Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan tarif baru sebesar 10% pada hampir semua barang impor yang masuk ke AS. Ia pun memberlakukan 'Tarif Timbal Balik' terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia dengan mengatakan bahwa negara-negara lain telah memperlakukan AS dengan buruk karena mengenakan tarif yang tidak proporsional pada impor AS yang ia sebut sebagai kecurangan. 

Seolah sebagai pihak yang terzalimi, sebagai balasannya, kata Trump, AS akan mengenakan tarif kepada negara-negara lain, kira-kira setengah dari tarif yang mereka kenakan kepada AS. Barang Indonesia yang dijual di sana pun terkena tarif baru sebesar 32%.

"Ini adalah deklarasi kemerdekaan ekonomi kami," kata Trump saat mengumumkan langkah-langkah baru tersebut.Bagan tersebut menampilkan tarif 10% untuk impor dari Inggris dan 20% untuk impor Uni Eropa.(Bbcnews, 2-5-2025)

Pemerintah Indonesia menyatakan, tidak akan mengambil langkah balasan atas kebijakan tarif impor resiprokal yang diberlakukan oleh Amerika Serikat dan memilih untuk menempuh jalur diplomasi dan negosiasi, untuk mencari solusi yang saling menguntungkan bagi kedua negara.

Namun demikian pemerintah perlu mencermati pula, dampak kebijakan tarif baru tersebut terhadap sejumlah sektor industri padat karya berorientasi ekspor, seperti industri apparel dan alas kaki. Sektor-sektor tersebut dinilai rentan terhadap fluktuasi pasar global.

Di balik itu, AS sendiri memiliki problem yang tak kalah peliknya. Karenanya kebijakan tarif baru ini dianggap sebagai langkah strategis untuk mengurangi pajak dan pembayaran utang negara. Hal ini menjadi politik perdagangan luar negeri di masa pemerintahan yang baru.

Meski telah dilakukan efisiensi melalui perombakan kabinet yang memangkas US$ 2T atau setara dengan Rp32.600T namun beban keuangan negara masih sangat besar. Defisit AS sebesar US$ 1,15T atau setara dengan Rp18.900T. Bandingkan dengan belanja negara kita sebesar Rp3500T. Maka tampak betapa besar pengeluaran AS, nyaris 6 kali lipat APBN dalam negeri.

APBN defisit, perdagangan defisit, maka solusi kapitalis dengan menaikkan tarif impor. Perang tarif merupakan bagian politik dagang AS dan termasuk dalam politik ekonomi AS yang bersifat kapitalistik. Maka dari sini akan tampak salah satu wajah penjajahan di sektor ekonomi dan menjadi peluang strategis menjadikan AS sebagai musuh bersama. 

Melalui perang tarif, akhirnya menjadi perang dagang dan berlanjut ke perang ekonomi. Ketika ini terjadi, maka umat akan kuat dengan sistem ekonomi yang berasal dari Al-Khaliq. Sistem ekonomi Islam tak layak bersanding dengan sistem ekonomi lainnya, baik kapitalis atau sosialis yang sarat dengan kerusakannya.

Saat 3 sistem kehidupan berlaga, maka akan tampak keindahan Islam di atas segalanya. Inilah kesempatan memunculkan negara adi daya baru dengan kepemimpinan tunggal, yang bisa menandingi AS. Oleh sebab itu, kondisi ini pun menjadi alarm bagi umat agar bangkit, hingga beberapa pengamat menyebutnya sebagai 'wake up call to the muslim world'.

Saat umat Islam disatukan dalam sebuah institusi negara maka batas-batas wilayah imajiner (nation state) akan terhapus. Sumber daya alam menyatu menjadi milik bersama yang disebut dalam sistem ekonomi Islam sebagai kepemilikan umat (milkiyah am). Industri strategis pun terlindungi, tidak dikuasai individu atau asing. Kesejahteraan berada dalam jaminan Islam, dibagikan secara merata orang perorang.

Maka saatnya mengubah pemikiran kita agar optimis menjemput kemenangan Islam, tidak gagap menghadapi perubahan, serta menyiapkan diri sebagai pemeran utama di panggung peradaban dunia. Tidak lagi menjadi obyek bulan-bulanan atau target mesiu Barat. Allahummanshurnaa bil Islam.




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak