Oleh: Nettyhera
Belum lama ini, publik dikejutkan dengan temuan minyakita oplosan yang beredar di pasaran. Minyak goreng bersubsidi yang seharusnya membantu rakyat mendapatkan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau justru ditemukan dalam kondisi tidak sesuai standar. Ada yang volumenya berkurang, ada pula yang mutunya diragukan. Kasus ini bukan hanya sekadar ulah segelintir pedagang nakal, tetapi mencerminkan kelemahan mendasar dalam sistem distribusi pangan di negeri ini.
Fenomena ini mengungkap realitas pahit bahwa hajat hidup rakyat masih berada dalam kendali korporasi besar. Perusahaan yang seharusnya bertanggung jawab dalam menjaga kualitas produk malah lebih mengutamakan keuntungan. Sementara itu, negara tampak abai dalam memastikan mekanisme pengawasan yang efektif. Akibatnya, praktik curang seperti oplosan terus terjadi, dan rakyat selalu menjadi pihak yang dirugikan.
Dalam sistem kapitalisme yang berlaku saat ini, negara lebih banyak berperan sebagai regulator dan fasilitator bagi pelaku usaha, bukan sebagai pelindung hak-hak rakyat. Korporasi diberikan keleluasaan menguasai sektor pangan dari hulu ke hilir, sehingga tidak mengherankan jika distribusi minyak goreng pun lebih mengutamakan kepentingan bisnis daripada kesejahteraan rakyat. Ironisnya, meskipun berulang kali terjadi kecurangan dalam distribusi kebutuhan pokok, sanksi yang diberikan sering kali tidak memberi efek jera.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam menetapkan bahwa pemimpin adalah raa’in (pengurus rakyat) yang bertanggung jawab penuh dalam memastikan kebutuhan pokok tersedia dan terdistribusi dengan baik. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan kebutuhan dasar kepada swasta, melainkan harus mengontrol langsung pasokan dan distribusinya.
Selain itu, Islam memiliki mekanisme pengawasan yang ketat melalui qadhi hisbah, yaitu lembaga yang bertugas mengawasi pasar dan menindak tegas pelaku kecurangan. Jika ada pelaku usaha yang terbukti melakukan penyimpangan seperti oplosan atau pengurangan takaran, mereka bisa dikenai sanksi berat, bahkan sampai dilarang beroperasi. Dengan sistem ini, praktik kecurangan dapat dicegah, dan rakyat tidak akan terus-menerus menjadi korban permainan pasar.
Kasus minyakita oplosan ini seharusnya menjadi peringatan bahwa selama sistem kapitalisme masih menjadi dasar pengelolaan ekonomi, praktik serupa akan terus berulang. Solusi jangka panjang bukan hanya sekadar perbaikan regulasi, tetapi perubahan mendasar menuju sistem ekonomi yang benar-benar berpihak pada rakyat. Islam telah memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana negara seharusnya mengelola kebutuhan pokok warganya. Pertanyaannya, sampai kapan kita akan bertahan dalam sistem yang berkali-kali gagal melindungi rakyat?
Tags
Opini