Oleh : Nettyhera
Setiap tahun, banjir melanda Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Maret 2025, bencana ini kembali terjadi, merendam ribuan rumah, menutup akses jalan, bahkan menelan kerugian ekonomi lebih dari Rp5 triliun. Jakarta dan Bekasi menjadi wilayah terdampak parah, dengan ketinggian air di beberapa titik mencapai tiga meter. Ribuan warga terpaksa mengungsi, kehilangan tempat tinggal, kendaraan, dan barang berharga mereka.
Bencana ini bukanlah kejutan. Komunitas Peduli Cileungsi Cikeas (KP2C) telah memperingatkan potensi banjir seminggu sebelumnya. Namun, pemerintah tampak lamban dalam mengambil tindakan. Setelah banjir terjadi, pejabat berdatangan, membawa janji-janji klise seperti peninggian tanggul dan pengerukan sungai. Sayangnya, solusi ini tidak pernah benar-benar terealisasi, dan banjir tetap terjadi berulang kali.
Penyebab Utama Banjir
Sebagian besar pihak mengaitkan banjir dengan curah hujan tinggi dan meluapnya sungai seperti Ciliwung dan Kali Bekasi. Namun, penyebab utamanya lebih kompleks. KP2C menyebutkan bahwa perubahan tata guna lahan di hulu sungai, terutama di Puncak dan Sentul, berkontribusi besar terhadap banjir. Dulu, air hujan bisa meresap hingga 70%, tetapi kini hanya 30% karena lahan hijau berubah menjadi perumahan dan tempat wisata.
Selain itu, sungai mengalami pendangkalan dan penyempitan akibat kurangnya pengerukan serta maraknya bangunan yang melanggar garis sempadan sungai. DPR juga menyoroti program pembukaan lahan besar-besaran yang merusak kawasan hijau, memperparah kondisi lingkungan, dan menyebabkan daya serap tanah semakin berkurang.
Pembangunan Kapitalistik
Banjir tidak hanya soal hujan deras atau sungai yang meluap, tetapi juga akibat dari kebijakan pembangunan kapitalistik yang mengabaikan keseimbangan lingkungan. Demi kepentingan ekonomi, hutan terus ditebang, lahan resapan air dialihfungsikan, dan izin pembangunan diberikan dengan mudah tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem.
Pemerintah seharusnya bertindak sebagai pengelola lingkungan yang bertanggung jawab, bukan hanya memprioritaskan keuntungan investor dan pengusaha besar. Sayangnya, kebijakan yang diambil sering kali lebih berpihak pada kepentingan bisnis ketimbang kesejahteraan rakyat. Akibatnya, rakyat harus terus menanggung dampak dari pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Solusi Berbasis Pengelolaan Lingkungan Islami
Dalam sistem Islam, pengelolaan lingkungan menjadi tanggung jawab utama negara. Daerah resapan air harus dilindungi, sungai harus dirawat secara berkala, dan pembangunan harus memperhatikan dampak lingkungan. Rasulullah saw. telah mencontohkan kebijakan proteksi lingkungan, seperti melarang pemanfaatan lahan yang berisiko merusak keseimbangan alam.
Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam akan memastikan tata kota yang ramah lingkungan, menerapkan teknologi mitigasi bencana, serta memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem. Negara juga akan menindak tegas pelanggaran tata ruang, seperti pembangunan ilegal di sempadan sungai.
Jika banjir tetap terjadi meski mitigasi telah dilakukan, negara akan memastikan penanganan cepat dan komprehensif, mulai dari evakuasi, penyediaan tempat pengungsian yang layak, hingga pemulihan ekonomi masyarakat terdampak. Dana bencana akan selalu disiapkan di baitulmal, sehingga pemerintah tidak perlu mencari pinjaman berbunga yang justru membebani negara.
Banjir di Jabodetabek bukan sekadar bencana alam, tetapi hasil dari pengelolaan lingkungan yang buruk. Selama kebijakan kapitalistik masih diterapkan, banjir akan terus terjadi. Sudah saatnya kita menerapkan sistem pengelolaan lingkungan yang lebih adil dan berpihak pada kesejahteraan rakyat, bukan hanya kepentingan bisnis. Sistem Islam dalam Khilafah menawarkan solusi yang lebih menyeluruh dan berkelanjutan untuk mengatasi permasalahan ini. Jika kita ingin mengakhiri siklus banjir tahunan, perubahan sistem adalah sebuah keharusan.
Tags
Opini