Harga Pangan Naik, Dimana Peran Negara?





Oleh : Nita Karlina


Harga pangan di Indonesia saat ini sedang mengalami kenaikan yang signifikan. Terlebih ketika memasuki bulan Ramadhan dan hari raya. Sebagaimana yang di lansir oleh databoks, 12/04/2025. Menurut data harga pangan eceran Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada Sabtu (12/4/2025) pukul 10.51 WIB, harga beras premium nasional mencapai Rp15.547 per kg. Sementara dilihat dari tren harga 3 bulan terakhir, rata-rata harga beras premium nasional naik Rp67 (0,43%).

Tak hanya itu, harga cabai pun turut melonjak. Namun yang lebih menyita perhatian adalah tentang tanggapan presiden, ketika harga cabai naik.
Meroketnya harga cabai rawit di pasaran belakangan ini mendapat tanggapan dari Presiden Prabowo Subianto dan sejumlah menteri terkait. Kepala Negara menyarankan masyarakat mengurangi konsumsi makanan pedas sementara waktu. ( Tempo.co, 23/03/2025 )

Naiknya harga pangan ketika memasuki bulan Ramadhan dan hari raya seolah olah menjadi hal yang lumrah di negeri kita. Sudah di pastikan setiap tahunnya pasti akan naik. Namun ini menjadi pertanyaan besar bagi warga kita sendiri, mengapa hal itu bisa terjadi? Di mana peran negara dalam menangani situasi seperti ini?

Salah satu penyebab utama adalah sistem Kapitalis. Sistem ekonomi yang diterapkan hari ini yakni ekonomi Kapitalis, berkaitan erat dengan pemilik modal. Harga pasar sangat bergantung kepada kuantitas dan permintaan di pasar. Jika jumlah ketersediaan barang di lapangan langka, sementara permintaan di pasar tinggi, akan berimbas pada tingginya penetapan harga.

Inilah yang menyebabkan harga menjadi naik melambung tinggi, ketika permintaan tidak sesuai dengan stok pasar. Negara pun tak bisa berkutik dengan kenaikan harga, sebab yang menguasai pasar adalah mereka para pemilik modal. Di sisi lain, terjadi permainan nakal dari para oknum dengan cara menimbun stok pangan yang bertujuan untuk menciptakan kenaikan harga di tengah masyarakat. Serta kebiasaan buruk  pemerintah yang lebih mengutamakan impor.

Alih-alih memperbaiki perekonomian, langkah antisipasi dari pemerintah nyatanya belum mampu untuk mengatasi masalah kenaikan harga bahan pokok di pasaran. Di tengah kondisi masyarakat yang berat, hal ini semakin memberi masalah yang berkelanjutan, jika tidak diselesaikan dengan solusi yang tepat. Ditambah PHK yang terus meningkat terjadi di berbagai perusahaan, membuat para pencari nafkah semakin terbebani untuk memenuhi kebutuhan hidup karena hilangnya mata pencaharian mereka.

Dalam Islam, kebutuhan pokok adalah kebutuhan yang wajib di penuhi oleh setiap individu, maka pemerintah harus menyediakan dalam bentuk yang mudah dan murah. Berikut beberapa cara Islam mengatasi atau merespons kenaikan bahan pokok:

Menegakkan keadilan dalam pasar. Islam melarang segala bentuk kecurangan dalam perdagangan, seperti: Penimbunan (ihtikar): Nabi Muhammad SAW bersabda, “Siapa yang menimbun makanan (bahan pokok), maka ia berdosa.” (HR. Muslim). Tujuannya adalah mencegah praktik spekulasi yang menyebabkan harga melambung tinggi.

Tak hanya itu, peran aktif pemerintah (Hisbah). Pemerintah dalam Islam diberi wewenang untuk mengatur pasar demi kemaslahatan umum. Bisa dilakukan dengan intervensi harga saat terjadi kelangkaan atau lonjakan yang tidak wajar. Maka, fungsi pemerintah seharusnya bukan hanya menjadi regulasi, tetapi juga penentu kebijakan. Islam juga mendorong produksi dan distribusi barang secara lokal agar tidak tergantung pada impor, yang bisa memicu kenaikan harga.

Islam pun mewajibkan orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya ketika sudah sampai pada haulnya, maka zakat itulah yang akan di pakai untuk kemaslahatan masyarakat kecil. Dan ketika terdapat masyarakat yang kelaparan, maka pemimpin negaranya yang akan pertama kali di mintai pertanggung jawaban.

Seperti kisah Umar bin khattab yang memanggul gandum. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, terjadi masa kelaparan hebat di wilayah Hijaz (sekitar Madinah). Umar yang dikenal sebagai pemimpin yang sangat peduli terhadap rakyatnya, sering melakukan ronda malam untuk memastikan kondisi umatnya.

Suatu malam, saat Umar berjalan-jalan di sekitar kota Madinah bersama seorang pembantunya (beberapa riwayat menyebut Aslam), ia mendengar suara tangisan anak-anak dari sebuah tenda. Ketika didekati, ternyata ada seorang ibu yang sedang merebus air dan batu agar anak-anaknya merasa bahwa makanan sedang dimasak, walau sebenarnya tidak ada makanan sama sekali. Umar pun bertanya, dan ibu tersebut—tidak tahu bahwa yang diajak bicara adalah khalifah—mengeluh bahwa pemimpin mereka (yaitu Umar) tidak peduli pada rakyat yang kelaparan. Umar sangat tersentuh dan merasa bersalah.

Tanpa memberitahu identitasnya, Umar langsung kembali ke gudang makanan negara (Baitul Mal) dan memanggul sendiri karung gandum beserta bahan makanan lainnya di atas punggungnya. Saat pembantunya menawarkan untuk membawakan karung itu, Umar menolak dan berkata:  "Apakah engkau akan memikul dosaku di hari kiamat nanti?" Setibanya di tenda itu, Umar sendiri yang memasak makanan untuk ibu dan anak-anak tersebut hingga mereka kenyang. Setelah itu, barulah si ibu menyadari bahwa yang menolong mereka adalah sang khalifah sendiri, Umar bin Khattab.

Sungguh indah pemimpin yang seperti itu, mengayomi, melindungi dan memberikan kesejahteraan untuk rakyatnya. Itulah gambaran kepemimpinan yang seharusnya. Namun semua itu hanya pernah terjadi pada masa kejayaan Islam. kita tidak akan dapati pemimpin seperti itu jika masih terus berpegang teguh pada sistem Kapitalis Sekuler. Maka sudah sepatutnya kita kembalikan sistem hari ini dengan sistem Islam. Wallahualam bishowwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak