Oleh : Ummu Aqeela
Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Asti Laka Lena, menyebut kasus kejahatan seksual di daerahnya sudah berada dalam kondisi darurat. Ia menyodorkan data mencemaskan, sebanyak 75 persen narapidana di NTT dipenjara karena kasus kekerasan seksual, dan 60 persen dari korban adalah anak-anak.
“Ini sangat memprihatinkan. Kita bilang ini darurat kekerasan seksual,” kata Asti usai audiensi dengan Komnas Perempuan dan Komnas HAM di Jakarta, Kamis, 10 April 2025.
Menurut data yang ia kantongi, sepanjang 2024 terdapat sekitar 1.700 laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak di 22 kabupaten/kota dan tingkat provinsi. Ia mengatakan, di tahun 2025 ini, hingga Maret, laporan dari tingkat provinsi sudah mencapai lebih dari 140 kasus. Jika tren itu berlanjut, maka total laporan sepanjang 2025 diperkirakan menembus angka 600. (Tempo, April 2025)
Terjadinya kasus pelecehan seksual yang makin marak, tidak bisa sekedar dipandang dari satu persoalan saja. Melainkan harus menyeluruh dan terintegrasi bagaimana mekanisme antisipasinya.
Dalam aturan kapitalis sekuler yang meniadakan aturan Pencipta, kasus pelecehan seksual pada anak masuk perkara pidana, dimana sanksi hukuman kepada pelaku berdasarkan kepada orientasi pandangan pelaku dan korban. Ketika korban banyak yang diancam oleh pelaku, maka kasus pun tidak berujung kepada hukuman. Begitu pula jika atas dasar suka sama suka, tidak dapat dihukum dengan delik pidana kurungan. Maka wajarlah sanksi hukum yang tidak jelas, tidak ada efek jera bagi pelaku. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Dalang dari semua permasalahan yang terjadi ini adalah penerapan sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan agama terpisah dari kehidupan. Sekularisme ini jelas bertentangan dengan Islam. Islam telah menjelaskan larangan dan sanksi kepada para pelaku kejahatan seksual.
Tak dipungkiri bahwa sistem sekuler kapitalisme berhasil menggoda, mendorong, serta mencuci pikiran manusia untuk terus berbuat melampaui batas terhadap hal-hal yang diajarkan agama Islam. Sehingga seolah-olah manusia lupa apa saja yang telah diajarkan agama dan menyesuaikan diri terhadap ciri-ciri pribadi sekuler kapitalisme. Alhasil, tolak ukur benar salah, halal haram, baik buruk, terpuji ataukah tercela, semua dikembalikan pada akal manusia yang terbatas.
Sekularisme juga melahirkan ide liberalisme. Karenanya manusia bebas menentukan perbuatannya, seperti tatanan pergaulan laki-laki dan perempuan. Mereka bebas membuka aurat dan menjalin hubungan yang belum halal, bahkan tanpa merasa berdosa berbuat tindak kejahatan seksual, baik itu pencabulan, pemerkosaan, dan pelecehan.
Sangat berbeda ketika Islam digunakan sebagai sistem kehidupan yang terwujud dalam sebuah negara yang bernama khilafah. Dalam khilafah, yang menjadi sandaran manusia untuk berbuat adalah syariat Islam. Dalam Islam telah diatur pencegahan sedemikian rupa terhadap hal-hal yang dapat mengundang kejahatan.
Islam mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan. Islam memerintahkan untuk menghindari campur baur laki-laki dan perempuan. Islam juga melarang berkhalwat (berdua-duaan). Islam juga melarang perempuan berdandan berlebihan dan bertabaruj. Islam memerintahkan kaum laki-laki untuk selalu menjaga dan menundukkan pandangan.
Terlebih lagi, negara khilafah akan bertanggung jawab dan menjaga hak-hak kehormatan perempuan sehingga memberikan rasa aman terhadap perempuan. Seperti kasus dilecehkannya wanita muslimah oleh bani Qainuqo’, maka saat itu juga Rasulullah langsung mengusir bani tersebut keluar dari Madinah. Begitu pula kasus dilecehkannya wanita Amuria di masa Khalifah Mu’tashim Billah, langsung dikirimkan tentara yang panjangnya hingga puluhan kilometer.
Tak berhenti disitu, Khilafah akan menerapkan sanksi tegas kepada pelaku kejahatan seksual. Dalam Islam, pacaran, pencabulan, pemerkosaan yang sudah sampai pada perzinaan akan dikenai had zina, yaitu dicambuk 100 kali jika pelakunya belum menikah dan akan dilempari batu hingga meninggal (dirajam) jika pelakunya sudah menikah.
Sistem sanksi Islam atau uqubat bersifat zawajir atau pencegah. Sanksi dilakukan di tempat terbuka sehingga menimbulkan kengerian yang bisa menjadi pelajaran bagi masyarakat yang menyaksikannya. Tak hanya itu, sanksi Islam juga bersifat jawabir, yaitu penebus dosa bagi pelaku di akhirat karena sudah dilakukan di dunia.
Oleh karena itu, sanksi hukuman dalam Islam ketika terjadi pelanggaran syariat sekecil apapun, berfungsi sebagai penebus dan penjera bagi pelaku lainnya untuk tidak melakukan hal yang serupa. Namun, efek ini baru akan terasa jika negara Khilafah telah diterapkan. Jadi, hanya Khilafah-lah yang mampu memberhentikan seluruh tindak kejahatan, termasuk kejahatan seksual karena Khilafah akan menuntaskan masalah hingga ke akar-akarnya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
