Oleh Zahrul Hayati
Tidak ada bulan yang keutamaannya melebihi keutamaan Ramadan. Ramadan sering disebut 'rajanya bulan'. Ramadan penuh keagungan, kemuliaan dan keberkahan. Di dalamnya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Di dalamnya Allah SWT pun melipat gandakan pahala atas setiap amal kebaikan.
Pantas rasanya setiap Mukmin bergembira menyambut kedatangan Ramadan.
Apalagi Ramadan datang cuma setahun sekali. Inilah yang menjadikan kaum Muslim selalu antusias saat Ramadan datang kembali.
Namun, kebahagiaan ini tercederai dengan rasa gundah gulana masyarakat karena harga pangan membumbung tinggi hampir tidak terjangkau.
Kenaikan harga sudah menjadi tradisi dan terus berulang.
Naiknya harga pangan menjelang Ramadan sudah menjadi rutinitas setiap tahunnya. Kondisi demikian, tahun ini terasa jauh lebih parah dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) meminta pemerintah mewaspadai potensi kenaikan harga pangan pada Ramadan dan Idul Fitri. Plt. Kepala BPS Amalia Adiningrat Widyasanti pada Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah di Jakarta, Selasa (4-2-2025) menjelaskan, komoditas pangan yang kenaikan harganya perlu diwaspadai adalah telur ayam ras, daging, cabai merah, cabai rawit, gula dan minyak goreng.
Data BPS menunjukkan bahwa rata-rata harga telur ayam ras secara nasional pada minggu kelima Januari melampaui harga acuan penjualan (HAP), yaitu Rp 31.322 per kg. Harga tertinggi mencapai Rp 42.000 per kg di Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau.
Sedangkan harga daging ayam ras secara nasional masih di bawah HAP (Rp 40.000 per kg), tetapi BPS mencatat adanya tren kenaikan.
Rata-rata harga daging ayam ras sudah mencapai Rp 38.768 per kg. Bahkan, di Papua harga daging ayam ras mencapai Rp 100.000 per kg.
Adapun rata-rata harga cabai merah nasional mencapai Rp 53.621 per kg, mendekati HAP sebesar Rp 55.000 per kg. Sedangkan harga cabai rawit sudah jauh melampaui HAP.
Minyak goreng juga mengalami tren kenaikan harga, meskipun BPS belum memiliki data rincinya.
Amalia menambahkan berdasarkan pengalaman tahun lalu pada awal Ramadan 2024 terjadi inflasi sebesar 0,52%.
Sedangkan inflasi makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,41% dan baru turun setelah Lebaran.
Namun, pada tahun ini komoditas yang mendorong kenaikan harga pangan adalah cabai merah dan cabai rawit. Akibatnya, harga pangan di lima provinsi (Bengkulu, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau dan Papua Selatan) mengalami kenaikan lebih dari 1% secara bulanan.
Kenaikan harga menjelang Ramadan terus berulang seolah-olah sebuah tradisi tahunan.
Masyarakat pun teropinikan bahwa kenaikan harga Ramadan hingga Lebaran merupakan hal yang wajar karena tingginya permintaan. Oleh karenanya, masyarakat harus terbiasa dan menerimanya sebagai hal yang lumrah. Benarkah demikian?
Miris, tradisi tahunan ini selalu berulang, trennya kenaikan harga.
Naiknya harga, harga sembako menjelang Ramadan dengan alasan meningkatnya jumlah permintaan di masyarakat, hal ini nampak sebagai alasan klise belaka.
Kenaikan harga sembako sering terjadi menjelang bulan Ramadan dan Idul Fitri, padahal sembako adalah kebutuhan pokok mendasar bagi masyarakat.
Sungguh, lonjakan harga menjelang Ramadan yang menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan bahan pangan merupakan sebuah kezaliman kepada rakyat.
Kezaliman ini terjadi karena penerapan sistem sekuler kapitalisme yang melegalkan praktik oligopoli komoditas pangan oleh segelintir kapitalis.
Kapitalisme pula menjadikan penguasa tidak berperan sebagai pengurus rakyat (raa'in), tetapi sebagai regulator yang hanya memikirkan stok pangan tanpa memastikan distribusinya hingga ke rumah-rumah rakyat. Bahkan, kapitalisme melahirkan para (oknum) penguasa yang mempermainkan aturan/kebijakan pangan demi keuntungan pribadi, sedangkan kemaslahatan rakyat ia korbankan.
Kenaikan harga pangan sering terjadi menjelang bulan Ramadan padahal sembako adalah kebutuhan pokok mendasar bagi masyarakat. Pertanyaannya mengapa fenomena kenaikan harga terus berulang dan dimana peran negara?
Islam Mengatur Ketersediaan dan Pendistribusian Pangan.
Pengelolaan pendistribusian dalam sistem Islam berbeda dengan pengelolaan dalam kapitalisme. Daulah (negara) memiliki tanggungjawab untuk mengatur ketersediaan pangan dan pendistribusian yang merata kepada seluruh rakyat. Tujuannya agar mereka bisa mendapatkan kebutuhan-kebutuhannya dengan harga yang terjangkau. Daulah akan memastikan tidak ada penimbunan, kecurangan dan permainan harga.
Sistem ekonomi Islam memiliki pengaturan yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan dengan harga murah dan mudah diakses.
Daulah akan mendukung para petani dalam mendistribusikan hasil panennya.
Disatu sisi, terdapat pula hukum yang tegas dan membuat jera para pelaku yang berbuat curang. Walhasil, tidak ada yang berani memonopoli komoditas pangan.
Inilah bukti Daulah hadir mengawasi rantai perdagangan.
Rasulullah Saw. bersabda, "Ya Allah, siapa saja yang mengurusi satu perkara umatku, lalu ia menyulitkan umat, maka persulitlah ia. Dan siapa yang mengurusi perkara umatku, lalu ia memudahkannya, maka permudahlah ia."
(HR. Muslim)
Berdasarkan dalil tersebut, dapat kita simpulkan bahwasanya negara seharusnya wajib bertanggung jawab terhadap segala lini urusan rakyatnya. Dalam hal ini, negara wajib menyediakan pangan yang baik dan memadai untuk setiap individu rakyat.
Penguasa yang amanah memiliki keimanan yang kokoh sehingga memimpin Daulah Islamiah dengan penuh ketakwaan dan mengharap rida Allah Subhanahu wa taala.
Rasulullah Saw. bersabda, "Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya." (HR. Bukhari - Muslim).
Daulah Islamiah yang dipimpin oleh seorang Khalifah tentu akan melindungi rakyatnya. Terlebih lagi, menjelang bulan suci Ramadan, Khalifah akan menjamin kebutuhan rakyat sehingga mereka dapat fokus beribadah di bulan yang penuh kemuliaan tersebut.
Semoga Ramadan tahun ini terakhir tanpa Khilafah.
Wallahu a'lam bish showaab.
Tags
Opini
