Pelecehan Seksual di Sarana Pendidikan, Gagalnya Pendidikan Karakter



Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban



Setiap orangtua tentu memasukkan anak-anaknya ke sekolah dengan tujuan terlahirnya generasi yang bermartabat dan bertakwa sehingga masa depan cerah tercapai. Namun bagaimana jika lembaga pendidikan yang dimaksud justru awal kehancuran masa depan anak-anak tersebut?


Kejadian yang memilukan di sebuah sekolah dasar di Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dimana seorang guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK), tega melakukan perbuatan keji mencabuli delapan pelajar yang menjadi anak didiknya. Aksi bejat guru olahraga ini diketahui telah berlangsung sejak korban berada di kelas 1 SD. Korban berjumlah delapan dengan usia 8-13 tahun (tirto.id, 6-3-2025).


Kasat Reskrim Polres Sikka, Iptu Djafar Alkatiri, menjelaskan awalnya para korban tidak berani melaporkan kejadian tersebut kepada kepala sekolah atau orang tua mereka, karena takut ancaman sang guru yang akan mengurangi nilai mata pelajaran PJOK yang diampuh pelaku.


Namun, setelah saling bercerita di antara mereka, kasus ini akhirnya terdengar oleh pihak kepala sekolah. Keluarga korban bersama Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Sikka mengambil langkah melaporkan kejadian ini ke SPKT Polres Sikka guna menuntut proses hukum.


Saat ini, kata Djafar Alkatiri, pelaku KK telah ditahan di sel Tahaban Polres Sikka dengan tuduhan melanggar Pasal 82 ayat 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak juncto pasal 76e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun penjara.


Kapitalisme Demokrasi Biang Kerok Kebebasan Tanpa Batasan


Praktisi pendidikan, Bertholomeus Jawa Bhaga, mengatakan, kasus pelecehan seksual di sekolah marak akhir-akhir ini karena ada semacam relasi kuasa atau praktik hegemoni di lembaga pendidikan. Guru pada kasus-kasus tertentu berperan sebagai pihak superior dan peserta didik sebagai inferior.


Menurutnya, pola hegemoni selalu berupa ancaman pengurangan nilai mata pelajaran dan iming-iming uang dan lain sebagainya. Jika memang tidak melayani apa yang menjadi permintaan guru, maka “ditekan atau diancam” dengan pengurangan nilai.


Bertholomeus yang juga Kaprodi S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Maumere mengatakan fakta ini tidak sinkron dengan model pendidikan yang sedang digaungkan, yaitu peserta didik diharapkan memiliki karakter yang baik, manusia yang bebas (merdeka) tanpa ada tekanan apa pun.


Prinsipnya adalah membangun karakter baik bagi peserta didik yang didukung dengan lingkungan yang nyaman, kondusif tanpa adanya tekanan baik fisik maupun psikis. Peserta didik tumbuh dalam suasana yang menyenangkan tanpa ada tekanan apa pun. Jika kondisi ini terjaga, maka peserta didik akan lebih leluasa dalam mendapatkan banyak nilai-nilai dan karakter mereka terbangun.


Maka harus banyak pihak yang terlibat, tak hanya sekolah tapi juga orang tua dan masyarakat, agar ada kontrol yang berkesinambungan. Sebab prinsip yang dimaksud harus dipahami dengan baik, dengan kata lain mendidik satu orang anak butuh peran satu kampung.


Pelecehan seksual sebenarnya sudah terjadi dimana-mana, di setiap tempat dan waktu, pelakunya pun beragam dan tak malu-malu melakukan perilaku menyimpang itu. Namun memang sangat keterlaluan jika pelecehan itu juga terjadi di lingkungan sekolah, tempat dimana identik dengan proses pendidikan karakter anak bangsa. Jika gurunya berotak kotor bagaimana bisa kita mengharap anak bahagia hingga berprestasi?


Mirisnya, pelecehan seksual di sekolah juga tidak terjadi sekali, berulang kali, tentu saja ini menunjukkan bukan sekadar kesalahan pada oknum semata namun akibat diterapkannya sistem Kapitalisme Demokrasi sekuler. Sistem yang mencabut peran agama dalam kehidupan umum, saat berinteraksi dengan manusia lain. Sehingga setiap individu bebas melakukan apapun sekehendak hatinya, tanpa peduli halal haram hingga tak takut ada pengawasan Allah SWT.


Guru yang seharusnya menjadi panutan dan memberikan teladan baik dalam sistem Kapitalisme Demokrasi sekuler justru melakukan pelecehan seksual kepada peserta didiknya. Tontonan di media yang liberal, tanpa ada filter, senantiasa memberikan rangsangan kepada semua individu rakyat dari berbagai usia dan lingkungan untuk meniru dengan anggapan lebih keren dan tak ketinggalan zaman.


Tontonan tak layak, mengekploitasi tubuh perempuan, pornoaksi dan pornografi dijadikan pendongkrak rating, semakin tinggi rating semakin banyak iklan yang tentu selanjutnya mendongkrak pendapatan media tanpa peduli lagi dampak bagi generasi. Media juga tak terbatas di jangkauan mata, namun kini mengiringi kemanapun seseorang beraktifitas yaitu gadged.


Sehingga memudahkan seseorang mengakses apapun tanpa batas. Tak ada upaya pemerintah yang lebih serius dalam menjaga goncangnya akidah ini, ditambah dengan lingkungan pergaulan dan sistem pendidikan yang sekuler sehingga tidak bisa mewujudkan pribadi yang mulia. Sekuler memang sangat berbahaya, ide ini lahir dari pemikiran bangsa Eropa yang ingin terbebas dari cengkeraman gereja yang berkuasa bersamaan dengan kekuasaan raja-raja yang zalim.


Muncullah gerakan sekuler, yang berkeinginan memberangus kekuasaan gereja agar tak mencampuri urusan dunia, sehingga diambillan kesepakatan, gereja hanya ranah akhirat, para politikus, tuan tanah dan lainnya yang mengurusi dunia. Tuhan dibuat pensiun, sungguh kaum yang bodoh dan lebih bodoh lagi rakyat yang mengikuti tanpa berpikir benar salah.


Undang-undang yang disusun dengan napas Kapitalisme Demokrasi turut memperparah keadaan, meski berbilang dan sering revisi namun tetap tak ada upaya untuk beralih pada undang-undang yang lebih tegas dan adil.


Saatnya Kembali Kepada Islam


Islam jelas mengharamkan pelecehan seksual. Maka ada mekanisme yang ditetapkan syariat untuk mencegah pelecehan seksual, sebab jika pencegahan berjalan dengan baik orang akan sadar dan tidak melanjutkan pada tindakan yang merugikan dirinya dan orang lain.


Penerapan sistem pendidikan Islam, sistem pergaulan dalam Islam, sistem sanksi yang tegas, dan media yang Islami akan menutup segala celah pelecehan seksual. Disinilah pentingnya ada perjuangan politik bersama partai dakwah idiologis guna membimbing umat dengan kesadaran penuh yang sahih. Dengannya rakyat yang tersadarkan mampu mengajak penguasa untuk melakukan perubahan.


Ketakwaan individu, kontrol dari masyarakat dan penerapkan sistem Islam yang dilakukan negara menjadi langkah konkret untuk mengatasi pelecehan seksual yang hari ini tiada kunjung usai. Wallahualam bissawab.


Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak