Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Menjelang Hari Raya, justru gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) kian meninggi. Salah satunya adalah raksasa industri tekstil Indonesia, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), resmi gulung tikar per 1 Maret 2025.
Keputusan pailit yang telah diproses sejak tahun lalu akhirnya berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, berdampak pada 10.969 karyawan di berbagai anak perusahaan Sritex Group, dan mereka resmi kehilangan mata pencaharian (radarkudusjawapos.com, 1-3-2025).
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 yang dikeluarkan pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut sebagai biang kerok bangkrutnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Permendag 8/2024 merupakan perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, mulai diberlakukan pada 17 Mei 2024.
Komisaris Utama (Komut) PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Iwan Setiawan Lukminto, menyebut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 8 tahun 2024 membuat industri tekstil dalam negeri lesu. Berbeda dengan Permendag sebelumnya yakni nomor 36 tahun 2023.
Banyak pula yang menghubungkan dengan Pilpres 2024, saat dimana Gibran Rakabuming Raka mendapat dukungan besar dari karyawan Sritex untuk menjadi calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto. Saat berkampanye di Solo Raya, Gibran kerap menggaungkan komitmen untuk membuka lapangan kerja dan memperkuat sektor industri. Tak ada bukti, kecuali kini nasib ribuan mantan karyawan Sritex pengangguran dan tak berdaya.
Namun, selain kebijakan pemerintah sendiri yang menjadi pangkal persoalan, PT. Sritex sendiri memang menanggung utang yang menumpuk hingga triliun rupiah. Ketidakmampuan membayar kewajiban finansialnya berujung pada putusan pailit oleh pengadilan.Dampak Pandemi & Lesunya Industri Tekstil.
Sejak pandemi COVID-19, industri tekstil mengalami tekanan berat akibat penurunan permintaan global dan serbuan produk impor murah. Industri tekstil kita menghadapi persaingan ketat dengan produk Cina dan Vietnam, yang pemerintah sendiri telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan Cina dan negara-negara di ASEAN, yaitu ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
Sehingga barang tekstil impor dengan harga lebih murah dari China dan Vietnam membuat industri lokal semakin sulit bersaing. Ditambah dengan melemahnya daya beli masyarakat. Inflasi dan ketidakpastian ekonomi membuat daya beli masyarakat melemah, berdampak langsung pada penjualan produk tekstil domestik.
PT.Sritex juga menghadapi biaya produksi yang tinggi, kenaikan harga bahan baku, energi, dan upah buruh juga memperburuk kondisi keuangan perusahaan. Pemerintah berencana memberikan solusi jangka panjang untuk menstabilkan industri tekstil nasional, termasuk pembatasan impor, subsidi energi, hingga pelatihan kerja bagi buruh terdampak PHK.
Sayangnya berbagai kebijakan itu hanyalah embusan angin tanpa hasil yang nyata. Banyak pihak menilai semestinya yang disahkan adalah kebijakan yang lebih agresif agar industri tekstil Indonesia tidak semakin terpuruk di tengah gempuran produk asing.
Dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 menjadi landasan bagi upaya pemerintah melakukan penghematan anggaran negara. Dimana kebijakan ini menyasar berbagai kementerian dan lembaga, termasuk pemerintah daerah, dengan tujuan mencapai efisiensi anggaran belanja hingga Rp306,69 triliun.
Miris, efisiensi ini tidak hanya berdampak pada pemangkasan anggaran, tetapi juga pada program-program berjalan dan pemotongan jumlah karyawan (tirto.id, 17-2-2025). Selain itu terjadinya gelombang PHK di pabrik-pabrik tanah air karena berbagai hal. Dan sudah jamak bahwa mencari pekerjaan di negeri ini bukanlah hal yang mudah, ada banyak kriteria yang begitu menyulitkan termasuk batasan usia.
Faktanya dalam sistem Kapitalisme buruh adalah faktor produksi yang akan dikorbankan untuk menyelamatkan perusahaan. Adanya Jaminan pemberian 60% gaji selama 6 bulan melalui Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dengan batas atas upah 5 juta tidak akan menyelesaikan persoalan karena kehidupan tidak hanya berlaku selama 6 bulan saja.
Islam Jamin Sejahtera Tak Hanya Untuk Buruh
Islam menjadikan negara sebagai raa’in, yang mengurus rakyat termasuk menyediakan lapangan kerja yang luas, sehingga rakyat dapat hidup sejahtera. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw, "Pemimpin itu adalah perisai dalam memerangi musuh rakyatnya dan melindungi mereka. Jika pemimpin itu mengajak rakyatnya kepada ketakwaan kepada Allah dan bersikap adil, pemimpin itu bermanfaat bagi rakyat, tetapi jika dia memerintahkan selain itu, pemimpin tsb merupakan musibah bagi rakyatnya."(HR. Muslim).
Apalagi Islam menjadikan pemenuhan kebutuhan pokok sebagai tanggung jawab negara dengan mekanisme yang sesuai dengan syariat. Dimana kepemilikan kekayaan dibagi dalam tiga kelompok. Kepemilikan individu, umum (berbagai SDA) dan negara (fa’i, Jizyah , Kharaz dan lainnya) , selain kepemilikan individu, negaralah yang wajib mengurus secara mandiri tanpa bergantung pada negara lain.
Dengan penerapan sistem ekonomi Islam meniscayakan ketersediaan lapangan pekerjaan yang cukup dan jaminan kesejahteraan untuk rakyat. Siapa yang tidak mampu akan diberi santunan oleh negara hingga ia mampu, santunan berasal dari Baitulmal yang pos-posnya berasal dari hasil pengelolaan kepemilikan umum dan negara. Sedang kepemilikan individu seperti zakat, maka negara hanya mengumpulkan dan membaginya hanya untuk delapan asnaf, tentulah ini yang bisa menjamin kesejahteraan siapapun warga negaranya. Apakah muslim atau bukan. Dan ukuran sejahtera ya adalah individu per individu. Inilah yang sulit diwujudkan oleh sistem apapun di dunia. Tidakkah kita rindu diatur oleh sistem Islam mulia?Wallahualam bissawab.
