Negara Bisa Dibangun Tanpa Pajak

Oleh : Diajeng Tiara Anjani (Mahasiswa)

Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) telah dinaikkan oleh pemerintah pada April 2022, dari 10% menjadi 11% . Sekarang PPN Kembali dinaikkan dari 11% menjadi 12% pada 2025. Hal ini tentu akan menimbulkan reaksi yang tidak baik dari Masyarakat menambah keresahan dalam berkehidupan. Besaran 11% saja sudah terklaim sebagai PPN yang lebih tinggi dibandingkan negara Malaysia (8%) dan Singapura (9%), dan sekarang Indonesia setara dengan filipina PPN sebanyak 12%. Namun begitupun PPN  negara Indonesia masih dipandang rendah oleh standar internasional sebab dibandingkan oleh negara maju. Kementrian keuangan menyampaikan bahwa rata-rata PPN internasional sebesar 15%. Sungguh bukan alasan bijak jika menaikkan Pajak merasa aman sebab mengikuti standar internasional yang mencapai 15 %.
Hari ini disistem pemerintahan demokrasi yakni sistem kapitalisme, pajak memang menjadi elemen utama dalam pemasukan APBN. Pajak tersebut dikumpulkan dari rakyat dan kembalikan kerakyat dalam bentuk pemenuhan layanan seperti pendidikan, Kesehatan, infrastruktur dan keamanan. Namun sayangnya pajak yang hari ini katanya diminta ke rakyat dan akan Kembali ke rakyat tidak benar-benar membawa manfaat nyata pada rakyat. Dan bahkan Sebagian besar dana yang telah dikumpulkan diarahkan untuk membayar utang negara, gaji pejabat yang selangit dan fasilitas fantastik serta proyek infrastruktur yang tidak langsung bisa bersentuhan dengan orang banyak. Contohnya seperti proyek strategi nasional yakni membangun bandara, jalan tol, Pelabuhan dan IKN yang Sebagian telah mangkrak dan Sebagian lainnya menghabiskan anggaran dengan manfaat ekonomi yang kecil. Serta segelintir elit mementumkan ini sebagai sumber memperkaya diri yang ditunjukkan oleh LHKPN.
PPN adalah pajak yang memiliki dampak langsung kepada Masyarakat, yakni dampak beratnya bisa  dirasakan oleh Masyarakat berpenghasilan rendah daripada berpenghasilan tinggi, contoh pada saat melakukan jual beli barang atau menggunakan jasa tertentu, sebab bagi Masyarakat yang berpenghasilan rendah telah menggunakan banyak dari proporsi pendapatan yang mereka miliki untuk memenuhi kebutuhan pokok sedangkan bagi berpenghasilan tinggi mereka memiliki kemampuan untuk bisa mengalokasikan Sebagian besar proporsi keuangan mereka kepada sektor lain.
Kenaikan PPN dan inflasi dapat menyebabkan menurunnya konsumsi domestik, sedangkan domestic merupakan kontribusi utama dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Penurunan konsumsi ini juga dapat menghambat sektor-sektor yang bergantung pada konsumsi domestik seperti ritel, pariwisata dan perumahan, dan hal ini akan memperlambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Selain itu juga dapat dirasakan oleh sektor industri dan perusahan yang bergantung pada pasar domestik, yakni dapat berujung penurunan pada investasi dan lapangan kerja.
Selain itu kenaikan pada PPN dan inflasi juga memperburuk keadaan dalam hal ketimpangan ekonomi antara kelompok kaya dan kelompok miskin, dengan ketimpangan ini semakin memperjelas jurang sosial karena mereka merasa beban ekonomi tidak terbagi secara adil terutama ini diraskan oleh kelompok miskin dan rentan miskin semakin merasakan kesulitan untuk keluar dari rantai kemiskinan. PPN menjadi 12% menjadikan kelompok miskin diperkirakan mengalami kenaikan dalam pengeluaran yakni sebesar Rp. 101.880 per bulan atau Rp. 1.222.566 per tahun.
Kebijakan fiskal pajak telah membebani rakyat, penguasa justru memiliki pengelolaan kekayaan alam yang caranya bertolak belakang. Yang seharusnya sumber daya alam menjadi hak rakyat justru diserahkan kepada investor asing atau aseng yang dijalankan melalui kontrak dan konsesi jangka Panjang seperti pada tambang Batubara, nikel, timah, minyak dan gas bumi. Padahal justru kekayaan alam Indonesia merupakan satu aset strategi yang bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Namun sebaliknya rakyat justru mendapatkan kerugiannya yakni merasakan kerusakan lingkungan tempat mereka tinggal dan eksploitasi sumber daya alam. Menimbulkan kerusakan Sungai, perambahan lahan dan disusul dengan banjir dan longsor. 
Keputusan pemerintah menaikkan PPN sesungguhnya telah menciderai cita-cita negara dalam mewujudkan kesejahteraan umum masyarakat Indonesia. Yakni berkaitan erat dengan Paradigma Pembangunan dalam sistem ekonomi kapitalisme yakni dilihat dari kebijakan yang mengedepankan kebebasan dalam seluruh aspek. Hal tersebut karena memang kapitalisme adalah wajah lain dari mabda sekulerisme yakni pemisahan agama dari kehidupan. Peraturan ekonomi dipandang sangat liberal dalam aspek kepemilikan individu yakni bebas. Ajaran kapitalisme terkait Laissez Faire Laissez Passer memiliki makna bahwa biarkan perekonomian berjalan sendiri tanpa harus ada campur tangan negara. Tidak hanya digunakan pada era klasik tapi hingga saat ini,menganut istilah bahwa konteks “negara lepas tangan” merupakan bukti nyata bahwa negara tidak memiliki otoritas kekuasaan, namun malah pengaruh pengusaha lebih kuat, yakni kekayaan alam diberikan oleh swasta. Kapitalisme mengajarkan dalam hal ekonomi, negara memiliki peran hanya sebatas fasilitator atau regulator pasar, bukan sebagai pelaku utama, mengandalkan investasi dan inovasi dari sektor swasta sesungguhnya mengakibatkan ekonomi Indonesia amburadul sebab mengalami perampokan SDA  yang telah menafikan kesejahteraan pada Masyarakat luas.
Pengelolaan dalam sistem ekonomi islam
Islam menawarkan pengaturan atau kebijakan alternatif di sektor perekonomiannya melalui mekanisme Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang tidak dibasiskan dengan pajak. Adapun kemudian didalam ajaran islam, bahwa penguasa perannya adalah sebagai pelayan dan pengurus rakyat, yang artinya tidak boleh ada perlakuan seperti memalak rakyat dengan pajak karena negara bukan pemalak rakyat.
Dalam islam penguasa atau negara memastikan bagaimana rakyat terpenuhi kebutuhannya yakni (Sandang, Pangan,  Papan) begitu juga kebutuhan yang bersifat kolektif seperti (Pendidikan, Kesehatan, Dan Keamanan) An-Nabhany, 2004)
Kemudian dalam islam juga memperhatikan bagaimana kebutuhan pada warga negara non muslim yang tunduk kepada negara islam yakni kafir dzimmy, tanpa memberikan mereka berbagai macam pajak seperti dikapitalisme. Setiap individu yang hidup dalam aturan islam dalam sebuah negara islam maka mereka dibolehkan ataas kepemilikan dan dibolehkan dalam islam untuk bekerja yakni memunuhi kebutuhan hidup, seperti kebutuhan primier bukan memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat sekunder. (Al-Maliki, 2001).
Dapat disimpulkan bahwa negara adalah pengayom rakyat bukan sebagai pemalak harta rakyat dengan berbagai alasan yang dilumrahkan. Sedangkan didalam islam negara dibolehkan mengambil dharibah atau pajak hanya pada saat kondisi APBN atau Baitul Mal sedang kritis atau kosong yang Dimana dampaknya dapat mendzolimi rakyat. Maka negara dalam islam dibolehkan mengambil pajak pada rakyat tapi dengan syarat kepada warga yang muslim yang memiliki harta yang lebih atau kaya, bukan kepada semua warga negara.
Begitulah Gambaran bagaimana sistem islam diterapkan secara kaffah dalam Khilafah Islamiyyah termasuk dalamnya mengatur sistem perekomonian, yakni dipastikan dijalani sesuai syariat islam tanpa ada kedzoliman. Islam mengelola sedemikan baik bagaimana harta harus dipastikan sasarannya terkait kepemilikan individu dan kepemilikan umum serta negara.
 
Adapun terkait macam-macam pemasukan harta negara dalam islam, yaitu harta rampasan perang (anfal, ghanimah, fai dan khumus), pungutan dari harta khoroj, pungutan dari non muslim (Jizyah), harta milik umum, harta milik negara dan harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyr), harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dari cara yang haram, zakat, dsb, Adapun untuk sumber terbesar dalam APBN Negara islam atau khilafah adalah harta milik umum (Milkiyah Ammah)
“Manusia berserikat dalam tiga hal; air, padang rumput dan api” (HR Abu Dawud)
Kemudian ada hadits yang menguatkan yaitu hadist dari sahabat Abyadh bin Hammal ra. Yang menuturkan bahwa Rasulullah saw. Pernah menarik Kembali tambang garam yang sebelumnya sempat diberikan kepadanya, dengan alasan bahwa Rasulullah telah mengetahui dari para sahabat tentang melimpahnya tambang garam tersebut. (HR Ibnu Majah)
Sehingga para ulama sepakat bahwa SDA yang depositnya melimpah maka menjadi kepemilikan umum. Hal tersebut wajib dikelola oleh negara dan di alokasikan untuk digunakan rakyat demi kemakmuran rakyat. Maka harta milik umum haram diserahkan oleh pihak asing (Zallum, 2004)
Maka dapat disimpulkan bahwa jika semua dikelola dengan baik bisa membangun negara tanpa sebuah pajak yang beraneka ragam berujung memalak rakyat. Terbukti bagaimana islam telah mencotohkan dengan mecetak Sejarah, Khilafah islam selama lebih dari 13 abad berhasil menciptakan kesejahteraan dan keadilan ditengah rakyat dan kepada rakyat.
WAllahu ‘Alam Bisshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak