Penulis: Ilmu Mumtahanah
Buntut dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah efisiensi anggaran. Selain itu, kebijakan efisiensi ini juga diinvestasi kepada Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara). BPI Danantara sendiri adalah lembaga superholding BUMN yang baru saja dibentuk Presiden. Tak tanggung-tanggung, Presiden Prabowo menargetkan efisiensi anggaran hingga 44 miliar dolar AS atau setara Rp750 triliun pada tahun pertama kepemimpinannya.
Dilansir dari kontan.co.id, 20-2-2025, rencana tersebut ia umumkan saat berpidato di acara HUT Ke-17 Partai Gerindra di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Sabtu (15-2-2025).
Dalam paparannya, Presiden menyebut bahwa efisiensi anggaran akan dilakukan dalam tiga putaran. Putaran pertama adalah penghematan dari pos Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) sebesar Rp300 triliun. Putaran kedua berasal dari hasil pemangkasan anggaran di seluruh K/L yang baru selesai dilakukan per 14 Februari 2025 sesuai Instruksi Presiden 1/2025. Efisiensi anggaran tersebut awalnya ditargetkan Rp306,7 triliun, tetapi bertambah menjadi Rp308 triliun. Putaran ketiga berasal dari tambahan penerimaan dividen BUMN yang ditargetkan mencapai Rp300 triliun pada 2025. Dari jumlah tersebut, Rp100 triliun bakal dikembalikan lagi ke BUMN dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN).
Namun, kebijakan efisiensi anggaran ini, benarkah akan benar-benar bersifat efisien? Pasalnya, realitas menunjukkan bahwa pelaksanaan program MBG di lapangan banyak menuai masalah (mulai dari kontrol kualitas makanan yang buruk, sampai keluhan dari UMKM penyedia makanan yang belum menerima pembayaran tepat waktu), sehingga sifat efisien dari kebijakan efisiensi anggaran ini pun dipertanyakan.
Sebagai akibat, sektor layanan publik menjadi terdampak. Misalnya, pemangkasan anggaran yang dihadapi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), padahal riset adalah tulang punggung kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi yang dibutuhkan untuk memecahkan berbagai masalah negara.
Di sisi lain, pemangkasan anggaran untuk Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang menyusut dari Rp14,69 triliun menjadi hanya Rp1,31 triliun berpotensi menaikkan biaya kuliah lantaran efisiensi anggaran pendidikan. Pun, pemangkasan anggaran pada Kementerian PU akan berdampak pada penghentian proyek-proyek infrastruktur vital, seperti jalan rusak akan terus dibiarkan begitu saja tanpa ada perbaikan dengan alasan efisiensi.
Jika efisiensi terus berlangsung, jelas imbasnya adalah PHK besar-besaran, seperti yang terjadi pada lembaga penyiaran publik RRI dan TVRI yang memilih memangkas anggaran dengan merumahkan pegawainya. Jangan karena ambisi mewujudkan program MBG, semua hal dikorbankan. Anak-anak dapat makan gratis, orang tua malah terkena PHK, bukankah ini lebih miris? Jangan sampai terjadi kondisi demikian. Apalah guna MBG jika pemenuhan kebutuhan pokok selain makan terancam akibat PHK massal.
Sampai di sini, tampak kebijakan efisiensi anggaran ini dilakukan tanpa pemikiran yang matang. Sebab, faktanya ada anggaran lain yang seharusnya dipangkas namun malah tidak dipangkas, misalnya anggaran Kemenhan untuk Alutsista.
Padahal, dampak jangka panjang jika layanan publik terus dikorbankan di antaranya adalah kesenjangan sosial akan semakin lebar, memperburuk kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Belum lagi, kualitas sumber daya manusia menurun akibat buruknya pendidikan dan kesehatan, sehingga produktivitas tenaga kerja pun terhambat. Tak kalah mengkhawatirkan, infrastruktur yang buruk dan SDM yang tidak berkualitas menghambat investasi dan inovasi, sehingga pertumbuhan ekonomi tidak berkelanjutan.
Hal ini berbanding terbalik dengan kepengurusan negara dalam Islam di mana penguasa adalah raa'in yang tugas utamanya adalah mengurus rakyat yaitu mewujudkan kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan pokok.
Prinsip kedaulatan di tangan syara' menjadikan penguasa harus tunduk pada hukum syara', tidak berpihak pada pihak lain yang ingin mendapat keuntungan.
Persoalan penyediaan makan bergizi bagi anak itu bukan tugas negara, melainkan tugas orang tua. Tugas negara adalah menjamin setiap kepala keluarga itu memiliki pekerjaan untuk menopang kapasitas orang tua dalam menyediakan makanan bergizi bagi anak-anaknya.
Negara membuka lapangan kerja seluas-luasnya agar setiap kepala keluarga memiliki pekerjaan. Jika mereka tidak memiliki kemampuan, negara memberikan pelatihan agar para pencari nafkah itu memiliki keterampilan.
Adapun sumber pendapatan negara banyak dan beragam, tidak tergantung pada utang luar negeri dan pajak. Pengelolaan anggaran dalam negara Khilafah dilakukan oleh baitulmal. Sumber pemasukan tetap baitulmal terdiri dari fai, ganimah, anfal, kharaj, jizyah, dan pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang, serta harta zakat (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab Nizham al-Iqtishadiy fi al-Islam hlm. 530).
Alokasi anggaran akan dilaksanakan penuh tanggung jawab dengan perencanaan yang matang. Sebab, Islam menetapkan jabatan adalah amanah. Wallahualam.
.jpeg)